KORUPSI, PENYAKIT KRONIS DITUBUH KAPITALIS



 
Oleh : Ummu Aqeela
 
Kasus penganiayaan anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) belakangan ini menyedot perhatian publik. Namun, jauh sebelum kasus ini mencuat ada beberapa kasus lain yang menjerat pegawai pajak dan menjadi sorotan di Indonesia.
Diberitakan Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam laman resminya mencatat sepanjang 2005 hingga 2019 sedikitnya terdapat 13 kasus korupsi perpajakan yang menunjukkan adanya kongkalikong antara pihak pemerintah dan swasta. Dari seluruh kasus itu, terdapat 24 orang pegawai pajak yang terlibat. Menurut ICW, modus umum dalam praktik korupsi pajak adalah suap menyuap. Total nilai suap dari keseluruhan kasus tersebut mencapai Rp 160 miliar. 
"Nominal ini belum dihitung nilai kerugian negara akibat berkurangnya pembayaran pajak oleh wajib pajak korporasi," seperti dikutip dari siaran pers yang dipublikasikan di situs resmi ICW, 8 Maret 2021. ( Dilansir dari Tempo.co, 23 Februari 2003 )
 
Tidak dipungkiri hidup dalam dunia kapitalis mendorong pejabat untuk korupsi atau menyalahgunakan jabatan yang merugikan negara karena kesuksesan seseorang selalu dilihat dari sisi materi, banyaknya harta yang dimiliki meskipun kita tahu bahwa tidak semua harta yang dimiliki bisa dinikmatinya. Sistem demokrasi yang rusak membentuk pribadi-pribadi rusak yang berfikir kapitalistik. Mereka akan terdorong untuk melakukan korupsi dan menyalahgunakan jabatannya saat ada kesempatan dan peluang untuk memperkaya dirinya sendiri meskipun dengan cara yang haram dan merugikan orang lain.
 
Budaya korupsi yang terjadi di kalangan politisi ini karena negeri ini sangat memuja sistem politik demokrasi. Demokrasi merupakan buah dari kapitalisme-liberal dengan sekularisme sebagai landasan berpijaknya. Sekulerisme adalah paham memisahkan agama dari lini kehidupan. Banyak politisi yang awalnya memiliki ketakwaan kepada Allah, tergerus dalam budaya korupsi. Lemahnya sanksi hukum bagi para pelaku korupsi juga merupakan bagian dari sistem politik ini. Sanksi hukum yang berlaku tidak memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Hukuman bagi mereka pemakan harta negara hanya hukuman kurungan beberapa tahun saja.
 
Ini sangat berbeda 180 derajat dengan Islam. Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak. Dengan sistem Islam, niat korupsi sejak muncul pun tercegah. Mengapa? Ada pagar yang mencegahnya dari perbuatan tersebut, sebab takwa menjadi syarat baginya untuk menduduki jabatan. Tidak boleh diberi amanah, orang yang tidak bertakwa, meskipun bisa jadi dia seorang profesional.
 
Tentu saja, ini hanya terjadi dalam sistem yang menerapkan syariah Islam secara kaffah sehingga atmosfer yang muncul adalah ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Aturannya hanya aturan Islam saja, baik yang digali dari Al-Qur’an maupun As Sunnah.
 
Selain itu, sanksi hukum secara tegas dan keras akan memberikan efek jera. Tentu sebelumnya, semua pejabat atau aparat negara diberikan kehidupan yang layak. Maka, wajar sanksi tegas diterapkan jika ada pelanggaran. Hukuman tersebut bisa berupa publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
 
Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Alhasil, penerapan syariah Islam akan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
    
Wallahu’alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak