Penulis: Siami Rohmah
Pegiat Literasi
Miris, perempuan di Leuwiliang Bogor, W (21) harus meninggal tergantung disaksikan teman-temannya. Pasalnya korban ternyata sedang berencana membuat konten bunuh diri dengan video call temannya. Saat sedang live inilah kursi yang dijadikan pijakan terguling, otomatis dia menjadi tergantung. Teman-temannya sudah berusaha menolong dengan mendatangi rumah korban, tetapi sudah tidak tertolong, korban ditemukan meninggal. (CNN Indonesia).
Fenomena membuat konten berbahaya akhir-akhir ini memang semakin sering dilakukan. Seperti ugal-ugalan naik motor di jalan raya. Berusaha menghadang truk yang sedang melaju. Yang semua itu bisa mengancam nyawa baik diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Mereka melakukan aksi-aksi ini demi mendapat follower dan viewers di akun media sosial yang mereka miliki.
Demam media sosial memang semakin terasa. Banyak hal yang tidak perlu bahkan tidak masuk akal untuk dilakukan kemudian diekspos di media sosial. Aksi berbahaya menjadi bahan konten ini hadir menyusul fenomena flexing yang sudah lebih dulu eksis. Penggunaan istilah flexing muncul pada tahun 1899 disebutkan oleh Thorstein Veblen dalam buku The Theory of the Leisure Class: Economic Study in the Evolution of Institutions. Flexing merupakan kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapatkan pengakuan oleh orang lain. Jadi baik flexing maupun konten berbahaya sebenarya adalah ajang untuk menunjukkan eksistensi diri di mata orang lain.
Semua aksi yang dilakukan demi eksistensi diri ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana generasi saat ini kehilangan arah dalam menemukan jati diri mereka, sehingga latah dengan trend yang ada, demi mendapat pengakuan karena tidak mau dianggap tertinggal serta ditinggalkan lingkungan mereka. Muara dari semua ini disebabkan karena mereka memiliki paradigma yang salah akan kehidupan. Mereka berpikir bahwa dengan ikut trend menunjukkan eksistensi dengan konten-konten yang mereka buat adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Padahal ini sesungguhnya adalah cara berpikir yang rendah yang malah menyulitkan kehidupan mereka sendiri, karena mereka akan dikejar-kejar oleh pikiran untuk selalu membuat konten terbaru agar selalu eksis. Tanpa memikirkan apakah yang mereka lakukan salah atau benar.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, generasi muda yang merupakan penerus bagi agama dan bangsa ini harus terpuruk dalam jebakan gaya hidup palsu demi eksistensi. Untuk bisa kembali membangkitkan generasi agar menjadi generasi emas tidak ada lain adalah dengan mengembalikan paradigma berpikir yang benar, dengan menjawab pertanyaan mendasar dalam setiap diri manusia, yaitu dari mana mereka berasal, untuk apa mereka ada di dunia, dan hendak kemana setelah kehidupan dunia. Jika pertanyaan ini telah terurai maka generasi kita akan fokus bagaimana menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baik perbuatan untuk ketaatan kepada penciptanya, yaitu Allah Swt. Mereka tidak silau dan latah dengan kehidupan dunia. Kalaupun mereka menggunakan media sosial mereka akan menggunakan untuk ketaatan.Sehingga akan lahir generasi Mush'ab bin Umair, generasi Muhammad al Fatih di tengah generasi milenial. InsyaAllah.