Oleh Ummu Beyza
Memasuki musim penghujan, beberapa wilayah di Indonesia dilanda banjir. Termasuk Kalimantan Selatan. Hujan deras yang mengguyur beberapa kota di Kalsel menyebabkan luapan Sungai dibeberapa daerah. Mengapa bencana banjir terus berulang setiap tahunnya? Apakah penguasa tidak melakukan perbaikan?
Waspada Bencana Banjir
Hujan deras melanda sejumlah daerah di Kalimantan Selatan beberapa waktu terakhir. Meningatkan warga Kalimantan Selatan Banjir besar yang pernah terjadi pada awal tahun 2021 di mana hampir seluruh wilayah di kabupaten Banjar dan sekitarnya tergenang air selama 4-7 hari. Genangan air ini terjadi di akibatkan hujan deras yang tidak berhenti selama beberapa hari dan merata hampir di seluruh wilayah di Kalimantan Selatan. Bencana ini juga mencatat banyak rumah rusak, sekolah rusak dan tidak sedikit jembatan yang roboh.
BMKG memprediksi Kalimantan secara umum hujan ringan, namun Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara berpotensi hujan lebat. Kendati demikian, warga tetap harus waspada. Demikian juga seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan pihak terkait pun siaga.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kalsel sudah menetapkan status siaga banjir, puting beliung dan tanah longsor. Status ditetapkan sejak akhir Desember 2022 hingga Maret 2023.
Terdampak Banjir
Beberapa waktu belakangan, beberapa daerah di Kalimantan Selatan telah terdampak banjir. Seperti jalan penghubung antar desa terendam banjir sehingga kendaraan tak bisa lewat, seperti yang terjadi di Tabalong Kalsel akibat meluapnya air sungai, puluhan keluarga juga terdampak.
Tidak hanya jalan, Sejumlah wilayah pertanian di Kalimantan Selatan seperti di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar dan Banjarbaru terdampak banjir. Akibatnya tidak sedikit aktivitas pertanian
terhenti total diwilayah yang terdampak banjir.
Kabupaten Banjar menyatakan sebanyak 17.257 unit rumah yang tersebar pada tujuh kecamatan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, terendam akibat banjir yang melanda sejak satu bulan lalu dengan ketinggian air bervariasi.
Tak Mampu Menahan Air
Hingga hari ini, masalah banjir memang masih menjadi PR besar, tidak hanya bagi pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim hujan, banjir kini mengancam Kalimantan Selatan. Penyebabnya pun sangat klise, yakni curah hujan yang tinggi atau problem iklim yang tidak bersahabat.
Diakui atau tidak, arus deforestasi dan alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-joran di Indonesia terutama kawasan penyangga air terbilang sangat tinggi. Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare (ha) per tahun pada periode 2009—2013 menjadi 1,47 juta ha per tahun periode 2013—2017.
Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut angka yang jauh lebih besar. Selama periode 2003—2011 hutan yang hilang mencapai 2,45 juta ha. Selanjutnya angka ini naik menjadi 4,8 juta ha selama 2011—2019, termasuk dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi dari 2014—2019.
Kalimantan yang dulu terkenal dengan sungai dan hutannya, kini yang tertinggal hanya luapan air sungainya ketika hujan (banjir). Begitu banyak, alih fungsi terjadi di lahan hijau. Betapa banyak lahan persawahan dan kawasan pantai yang berubah fungsi dan menjadi penyebab banjir, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah banjir. Hutan-hutan yang tumbuh alami dan seharusnya kita jaga kini telag berubah menjadi lahan-lahan sawit.
Jangan Mengundang Bencana
Pemerintah tidak boleh lupa, pemegang kebijakan dan problem solver justru ada pada mereka. Semestinya pemerintah di semua levelnya lebih serius mengevaluasi mengapa bencana seperti ini berulang terjadi sekaligus mencari solusinya secara mengakar, bukan fokus pada cabang apalagi selalu mencari kambing hitam.
Pemerintah harus mengevalusai Kembali terkait perizinan usaha yang makin dipermudah dan terbuka lebar di berbagai bidang. Tidak sedikit yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan perubahan lingkungan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah bencana yang sebagian faktor risikonya bisa dikendalikan manusia. Dalam hal ini, kebijakan penguasa terkait pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh ideologi yang digunakan.
Tentang hal ini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41)
Oleh karenanya, bencana yang terus berulang seharusnya menjadi jalan untuk kita bermuhasabah, bahwa inilah waktu kita kembali ke jalan Allah, sebelum datang isyarat langit yang lebih dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat.
Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.
Tags
Opini