Kemacetan Jalan Memakan Korban, Kok Bisa ?




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Pada hari Selasa, 28 Februari hingga Rabu pagi, 1 Maret lalu, kemacetan panjang selama 22 jam terjadi di Jalan Nasional Tembesi, Batanghari, Jambi. Pengusaha truk pun teriak akibat macet panjang hingga 15 km itu. 
Pasalnya, jumlah truk yang terkena kemacetan hingga mencapai belasan ribu unit. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengungkapkan, kerugian pengusaha truk mencapai belasan miliar.

"Sehari nggak beroperasi itu. Truk kalau nggak jalan 1 hari minimum hilang income Rp 1 juta. Ditambah karena harus bayar bensin, kedua biaya nunggu truk, ada asisten kasih makan, itu cost juga. Ditambah biaya makan Rp 1,5 juta lah, kalau kerugian Rp 1,5 juta x 11.000 truk sekitar 17 miliar," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (3/3/2023).
Bahkan dalam peristiwa kemacetan parah itu, satu orang pasien dalam ambulans dikabarkan meninggal dunia.

Kemacetan panjang yang menghabiskan waktu hingga seharian ini, menunjukan betapa buruknya transportasi publik negeri ini di antaranya infrastruktur jalan. Banyaknya masalah yang mendera proyek infrastruktur mengindikasikan bahwa dari awal perencanaan hingga pelaksanaan memang sudah salah. Skema pembiayaan yang berbasis utang dan investasi saja sudah beresiko. Selama ini selalu dinarasikan bahwa infrastruktur dibangun atas kepentingan rakyat. Namun faktanya rakyat hampir tidak bisa merasakan dampak dari pembangunan itu.

Mahalnya harga tol dan ongkos transportasi, jalan rusak, hingga kemacetan masih terjadi hampir di seluruh wilayah negeri ini. Hal itu disebabkan karena Infrastruktur di negeri ini dibangun di atas dasar sistem kapitalisme neoliberal. Sistem ini tidak akan berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi kepentingan korporasi.
Penguasa yang menjalankan sistem ini menciptakan berbagai proyek strategis hanya untuk memberi peluang bagi swasta atau asing menguasainya. 

Selain itu, pembangunan infrastruktur jalan ke daerah pelosok sering kali bukan karena adanya rakyat yang membutuhkan akses, akan tetapi ada perusahaan baru yang akan dibangun di wilayah tersebut yang membutuhkan jalan untuk akses distribusi.
Perusahaan tentu saja enggan mengeluarkan biaya besar untuk membangun jalan, sebab itu berarti akan menambah cost produksi. Tak heran, hingga saat ini Infrastruktur jalan di kota, di daerah industri, dan di desa masih timpang, bahkan rakyat harus menanggung beban berbagai masalah karena rusaknya jalan akibat dilewati kendaraan-kendaraan berat berbagai proyek, sebagamana yang terjadi di jalan nasionan Jambi tersebut.
Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme.

Berbeda dengan Islam, Islam memandang bahwa jalan merupakan salah satu infrastruktur yang sangat penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyatnya. Karena itu, negara wajib membangun infrastruktur yang baik dan merata ke seluruh pelosok negeri, bukan hanya diperkotaan, atau daerah industri saja. Sebab, negara Khilafah dengan pemimpinnya yang disebut Khalifah adalah raa'in atau periayah. (pelayan dan pelindung bagi rakyatnya).

Rasulullah Saw Bersabda :"Imam adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,"(HR. Bukhari).
"Imam adalah ibarat penggembala, dan dia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya,"(HR. Muslim).
Jalan yang baik dan lebar akan mengurangi kemacetan, sehingga distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat, kegiatan pendidikan, perkantoran, dan industri akan berjalan lancar. Khilafah akan menyediakan sarana transportasi umum yang aman, nyaman, dan ongkos yang murah bahkan gratis. 

Khilafah akan membatasi produksi dan distribusi kendaraan pribadi, melarang transaksi leasing dan ribawi, karena hal itu tidak sesuai dengan syariat Islam. Beralihnya rakyat dari menggunakan kendaraan pribadi ke kendaraan umum ini akan berjalan secara alami, sebab negara akan memperbanyak transportasi umum dengan kualitas yang baik, dengan ongkos yang murah, bahkan gratis. Sebab, transportasi publik adalah pelayanan yang wajib disediakan negara bagi rakyatnya sebagaimana pendidikan dan kesehatan.

Sehingga, Khilafah tidak akan menjadikannya sebagai ladang bisnis untuk pemasukan negara. Khilafah akan membuat perencanaan dan penataan suatu kota yang baik dan efektif. Saat Baghdad dijadikan ibu kota negara, Kekhilafahan Abbasiyah menjadikan setiap bagian kota hanya untuk sejumlah penduduk tertentu. Bagian kota tersebut dilengkapi dengan sarana dan prasarana publik yang dibutuhkan warga, seperti masjid, taman, pusat industri, perpustakaan, rumah sakit, perkantoran, dan sekolah. Dengan perencanaan dan penataan kota seperti itu, sebagian warga tidak perlu berurbanisasi untuk memenuhi kebutuhannya di perkotaan, seperti menuntut ilmu atau bekerja. Begitulah cara Khilafah mengatasi kemacetan. Pelayanan terbaik untuk rakyat ini, hanya bisa dirasakan dalam penerapan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak