Kebijakan Setengah Hati Pemberantasan Miras



Oleh: Sri Wahyu Anggraini, S.Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)


Indonesia dalam waktu kurang dari satu bulan lagi akan memasuki Ramadhan. Sebab itu, diperlukan penciptaan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat yang kondusif. Berkenaan dengan kondisi tersebut, Polresta Malang Kota (Makota) melaksanakan Kegiatan Rutin yang Ditingkatkan (KRDY). Salah satu kegiatan yang dilakukan berupa penindakan terhadap penjual minuman beralkohol (Minol). Selain melaksanakan kegiatan rutin yang ditingkatkan, kegiatan ini juga merupakan tindak lanjut dari pengaduan masyarakat. Sebelumnya, masyarakat merasa resah dengan adanya kios-kios yang menjual minuman beralkohol. Pasalnya, aktivitas di kios tersebut menimbulkan ketidaknyamanan serta keresahan bagi para wisatawan dan masyarakat sekitar. (Republika.co.id/ 26/2/2023)

Razia miras menghadapi Ramadhan jelas menguatkan dan membuktikan sekulerisme di negeri ini. Miras yang haram hanya ditertibkan saat menjelang Ramadhan. Itupun hanya di warung rumahan,yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Dalam UU minol disebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat tertentu sesuai dengan aturan UU.  

Langkah ini jelas kontra produktif terhadap upaya pemberantasan miras yang haram dalam Islam. Bahkan tak mungkin mampu memberantas tuntas.  Pasalnya dalam kapitalisme bisnis miras sangat menguntungkan, padahal dalam islam dianggap sebagai induk kejahatan. Dari sini kita melihat bahwa dampak yang disebabkan miras berujung pada tindakan kriminal. Kejahatan itu meliputi pemerkosaan, perampokan tak terkecuali pembunuhan. 

Di negeri ini banyak fakta yang menegaskan konsumsi miras berujung pada kasus kejahatan. Hal ini wajar terjadi di negeri yang menjadikan  sekuler sebagai haluannya. Di alam sekuler meniscayakan orang bertindak liar. Penerapan aturan Sekuler menjadikan Islam di negeri ini hanya diafirmasi pada ibadah ritual, pernikahan dan kematian. Tapi terkait pengaturan kehidupan publik (ekonomi, sosial, pemerintahan, pergaulan, hukum dan sebagainya) dimatisurikan. 

Bahkan penyuaraannya dikriminalisasi. Padahal melaksanakan syari’at Allah Subhanahu Wa Ta'ala secara parsial adalah bentuk kekufuran. Miras dilegalkan karena dianggap memiliki nilai ekonomi, walaupun jelas keharamannya. Inilah watak kapitalis.  Tak ada lagi standar agama yang diikuti. Akal manusia semata yang menjadi ukuran melakukan sesuatu. Hawa nafsu pun jadi acuan untuk mengejar kenikmatan. Halal haram tak dipedulikan, baik buruk dianggap nisbi, tak boleh memaksakan. Meski faktanya sering umat Islam jadi korban. Jika tak ikut membolehkan yang haram, langsung dicap tak toleran. 

Syariat Islam memandang bahwa meminum miras adalah perbuatan dosa besar. Karena miras hukumnya haram. Dalam syariah baik peminum akan dicambuk sementara produsen dan penjualnya akan mendapatkan sanksi ta'zir yakni hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qadhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi tersebut akan memberikan efek jera bagi para pelakunya.
Allah Subhanahu wa ta'la berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung" (QS. Al Maidah ayat 90).

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam  bersabda: 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ» (رواه مسلم)

Artinya: "Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya Nabi saw. bersabda, “Setiap hal yang memabukkan itu khamr, dan setiap yang memabukkan itu haram." (H.R. Muslim).

Ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW  di atas menjelaskan keharaman miras secara qath’i. Dalam khasanah fikih Islam, para mujtahid dan ulama sudah sepakat terkait keharamannya (muttafaq fihi). Mengkonsumsi miras termasuk dosa besar. Bahkan dalam hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam yang lain menjelaskan ada 10 golongan yang akan mendapat dosa dari miras. Artinya keharaman miras ini sudah final.

Selain mengharamkan khamr dalam daulah islam, Khilafah juga memberlakukan sanksi pidana bagi siapa saja1 yang melanggar. Sanksi ini pernah dilakukan  oleh Rasulullah saw., begitu juga dengan para khalifah. 

“Bahwa Ali ra. memerintahkan Abdullah bin Ja’far untuk mencambuk Al Walid bin Uqbah 40 (empat puluh) kali, kemudian Ali berkata, ”Nabi saw. telah mencambuk 40 kali cambukan.” Abu Bakar mencambuk 40 cambukan, sedang Umar 80 cambukan. Semua itu sunah dan ini yang lebih aku sukai.” (HR. Muslim)

Sehingga, tak hanya individu yang diharuskan bertakwa, negara juga punya peranan besar terhadap ketakwaan rakyatnya. Sebab, negaralah yang mempunyai tugas untuk menerapkan hukum haramnya khamr.  Maka, tidak ada cara lain selain kita kembali kepada penerapan  syari’ah Islam secara kaffah atau menyeluruh melalui institusi khilafah. Sebab, dengannya semua hukum-hukum yang berasal dari Allah subhanahu wa ta'la bisa diterapkan secara sempurna termasuk hukum khamr. Kaum Muslim butuh sistem Islam bukan demokrasi kapitalis. Agar syari’at Islam terterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban seorang Muslim dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

 Wallahu a’lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak