Oleh : Eti fairuzita
Kebakaran hebat di Depo Pertamina Plumpang, Koja, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3) malam telah melalap permukiman warga di sekitarnya dan menewaskan 15 orang —dua di antaranya termasuk anak-anak.
Namun, ini bukan pertama kalinya peristiwa serupa terjadi di kawasan padat penduduk itu.
Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) —lebih tepatnya di 2009, kebakaran serupa sempat melanda Depo Pertamina Plumpang.
Kebakaran pertama di Depo Pertamina Plumpang terjadi pada Minggu (18/1/2009) di malam hari pula, pukul 21.00 WIB.
Sontak ! Peristiwa kebakaran tersenut pun langsung mendapat respons dari pengamat tata kota Universitas Trisakti Jakarta Yayat Supriatna. Ia mempertanyakan siapa yang memberikan rekomendasi permukiman penduduk di kawasan depo BBM.
Menurut Yayat, depo itu pertama dibangun pada 1974. Ketika itu, kawasan Jakarta tidak sepadat dan seramai sekarang.
“Bisa dikatakan depo Plumpang bersih dari permukiman, bahkan ada aset tanah yang diklaim sebagai milik Pertamina,” ujarnya, Sabtu (4/3/2023).
Ia mengungkapkan, seiring dengan berkembangnya industri, maka kepadatan penduduk semakin meningkat. Bahkan ada satu RW yang jumlah RT-nya bertambah dari tujuh menjadi 11.
Pembangunan permukiman meluas, bahkan jarak dengan tembok pembatas depo hanya 20 meter. Padahal, ukuran tangki BBM yang semakin besar seharusnya diikuti dengan jarak yang semakin jauh dari rumah warga.
“Pertanyaan nya siapa yang mengizinkan dan memberikan rekomendasi, katanya ada sengketa tanah, ranah di luar depo BBM Plumpang itu ranah pengadilan yang memutuskan dan Pemprov DKI,” ucapnya.
Banyaknya korban jiwa tentu menimbulkan rasa prihatin. Kawasan depo yang seharusnya steril dari pemukiman warga, justru terisi dengan rumah-rumah warga yang dibiarkan terus berkembang dan dilegalisasi dengan pembentukan RT/RW serta pemberian KTP di wilayah yang seharusnya tidak menjadi tempat hunian warga itu. Dari kejadian ini, publik bisa mengamati bahwa ada kesalahan tata kelola kependudukan.
Tak hanya itu, peristiwa kebakaran Plumpang juga menunjukan abainya negara terhadap keselamatan rakyat. Bahaya yang mengancam keselamatan rakyat nyata-nyata diabaikan oleh negara. Meski pernah terjadi kejadian serupa, namun sayangnya tidak ada upaya tegas untuk menangani kasus ini, bahkan faktanya pemukiman semakin meluas.
Hal tersebut memang lumrah terjadi dalam negara dengan tata kelola sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme membuat negara berlepas tangan dari tugasnya sebagai penjamin kebutuhan rakyat. Rakyat harus berupaya sendiri dalam memenuhi sandang, pangan, dan papan yang semakin lama tidak terjangkau. Di kawasan kota besar termasuk di wilayah ibu kota,
warga berekonomi rendah kesulitan mendapatkan hunian yang layak dan aman. Hal ini dikarenakan tata kelola negara kapitalisme hanya mengedepankan keuntungan materi semata, bukan keselamatan warga.
Lahan-lahan yang layak dijadikan pemukiman banyak dikuasai oleh para kapital properti. Mereka membangun apartemen maupun hunian layak tinggal sebagai ajang bisnis. Jelas, hunian tersebut hanya dapat dijangkau oleh kalangan tertentu. Sementara, bagi warga yang tidak mampu agar tetap bisa bertahan hidup, mereka terpaksa tinggal di tempat-tempat tidak layak, seperti di kolong jembatan, atau tempat-tempat yang tidak aman seperti tinggal begitu dekat dengan depo pertamina.
Inilah gambaran tata kelola sistem kapitalisme yang minim mengutamakan keselamatan rakyat.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah. Dalam mengurus kebutuhan rakyat, syariat menetapkan bahwa keberadaan negara adalah sebagai khadimatul ummat (pelayan umat). Negara tidak mengambil keuntungan sedikitpun, kecuali semata-mata hanya menjalankan perintah Allah swt dalam mengemban amanah.
Rasulullah saw bersabda ;"Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya,"(HR. Bukhari Muslim).
Selain itu, keberadaan Khilafah adalah sebagai institusi praktis yang mewujudkan maqosidus syariah. Karenanya, keselamatan warga menjadi hal utama yang terus diperhatikan. Maka ketika Khilafah mengatur tata ruang wilayah, termasuk wilayah pemukiman tidak akan lepas dari prinsip-prinsip tersebut. Rancangan tata ruang wilayah Khilafah akan diformulasikan berdasarkan aspek keselamatan dari sisi sains. Khilafah akan memerintahkan para ahli untuk memetakan beberapa jenis lahan. Area lahan subur akan dijadikan sebagai lahan pertanian maupun perkebunan, sedangkan lahan yang kurang subur akan digunakan sebagai kawasan pemukiman dan industri.
Khilafah juga akan mengatur agar wilayah pemukiman warga dan industri ada area buffer sebagai batas area penjaga antara pemukiman dan industri. Di sisi lain, Khilafah juga akan menetapkan sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sehingga dari konsep ini Khilafah mampu meminimalisir kejadian seperti kebakaran yang terjadi di depo pertamina Plumpang. Salah satu bukti kehebatan tata kota Khilafah adalah kawasan tata kota di Cordoba.
Thomas F Glick, dalam bukunya 'Islamic And Cristian Spain InThe Early Middle Ages' menguraikan bahwa area kota Cordoba terbagi menjadi tiga bagian yakni pusat kota, pinggir kota, dan luar kota.
Pusat kota adalah tempat untuk kantor-kantor pemerintahan dan masjid pusat. Tujuannya, agar masyarakat mudah menjangkau dan mengurus keperluannya.
Di tengah kota terkonsestrasi sentra-sentra perdagangan, seperti, pasar perhiasan, kerajinan, toko buku, rempah-rempah, parfum, dan lain sebagainya. Selain di pasar, perniagaan dan kegiatan sosial juga berlangsung di ruas jalan tertentu atau pelataran.
Sementara area pinggir kota adalah area permukiman. Permukiman ini dibangun dengan sistem blok yang terdiri dari 8 sampai 10 rumah, mirip seperti klaster perumahan modern. Jalan-jalan pemukiman juga dibangun mengikuti kontur alam untuk memudahkan sistem drainase. Tata kota merupakan wujud fisik ketika sebuah negara taat kepada syariat, penjaga nyawa manusia, dan penjamin urusan masyarakat.
Sebuah sistem tata kota yang tidak akan bisa diwujudkan oleh sistem kapitalisme saat ini.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini