Oleh: Rengga Lutfiyanti
Pegiat Literasi
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja kembali terjadi. Kali ini masyarakat dikejutkan dengan berita penganiayaan yang dilakukan oleh anak salah satu pejabat pajak, Mario Dandy Satriyo, terhadap anak petinggi GP Ansor, David. Tindak kekerasan tersebut terjadi karena diduga adanya perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh David terhadap pacar Mario. Akibat penganiayaan tersebut, korban sempat koma selama empat hari dan menjalani perwatan intensif di ruang ICU. (cnnindonesia.com, 25/02/2023)
Tindak kekerasan ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebab sebelumnya ada kasus kekerasan yang juga dilakukan oleh remaja. seperti yang terjadi di Kabupaten Bone, Sulewesi Selatan. Seorang siswi SMP berinisial J (14) meninggal setelah menjadi korban pemerkosaan beberapa temannya (makassar.kompas.com, 24/02/2023). Kemudian di wilayah Purwakarta, Polres Purwakarta mengamankan lima orang pemuda yang diduga melakukan percobaan pencurian dengan kekerasan atau penganiayaan. Diketahui para pemuda tersebut masih berstatus sebagai pelajar SMK di Kabupaten Purwakarta (jurnalpolri.com, 22/02/2023). Ini hanyalah beberapa contoh dari banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja atau generasi muda.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Dengan rincian, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis. Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum konsisten di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019 (databoks.katadata.co.id, 29/07/2022).
Semakin banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pemuda, menggambarkan ada yang salah di dalam sistem kehidupan saat ini. Mulai dari gagalnya sistem pendidikan dalam membentuk anak didik yang berkepribadian dan berakhlak mulia, lemahnya peran keluarga dalam meletakkan dasar perilaku terpuji, hingga rusaknya lingkungan masyarakat. Semua itu adalah buah dari kehidupan yang berlandaskan paham sekularisme. Sekularisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Aturan agama hanya dikerdilkan dalam urusan personal saja. Sementara untuk urusan umum, aturan dibuat berdasarkan akal manusia yang sifatnya terbatas. Alhasil, ketika sistem tersebut diterapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tentu aturan yang terbentuk sarat akan kepentingan manusia.
Misalnya saja dalam bidang pendidikan. Sistem Pendidikan yang berbasis sekularisme menjadikan orientasi sekolah bukan lagi untuk menimba ilmu, melainkan bagaimana bisa mencetak tenaga kerja yang terdidik. Kebijakan ini tidak lain juga akibat diterapkannya sistem kapitalisme, yang mana dalam sistem ini orientasinya adalah memperoleh materi atau keuntungan sebenyak-banyaknya. Maka tidak heran jika kemudian generasi yang dihasilkan minus dari pemahaman agama. Sehingga mereka sering bertindak amoral untuk menyelesaikan masalah. Tidak hanya itu, kesibukan orang tua berkeja termasuk juga kaum ibu dan abainya negara dalam membekali ilmu pengasuhan pada calon orang tua semakin memperparah tingkat kenakalan remaja.
Remaja yang jauh dari orang tua atau terlalu dimanja oleh orang tua akan cenderung mengedepankan ego. Sehingga mereka akan mudah berbuat anarkis untuk memuaskan rasa ego tersebut. Sementara negara juga hanya menindak pelaku kriminalitas tanpa ada upaya pencegahan. Bahkan negara sekuler kapitalisme membiarkan paham liberalisme (kebebasan) maupun permisif untuk mengerogoti jiwa pemuda. Maka bukan tidak mungkin, jika semakin hari kasus amoralitas remaja semakin masif.
Sungguh miris. Para pemuda yang seharusnya waktu mereka disibukkan dengan belajar dan menyiapkan masa depan, justru sibuk dengan aksi kekerasan untuk memuaskan ego mereka. Tentu hal ini akan sangat berbeda jika generasi dididik dengan menggunakan sistem Islam. Hal ini karena, kehidupan dalan sistem Islam didasari oleh akidah Islam. Di mana menuntut pemeluknya menyadari bahwa dunia adalah tempat menanam kebaikan untuk kemudian dipanen di akhirat kelak. Pemahaman seperti ini akan menjaga setiap individu untuk selalu menjaga perilaku mereka sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, Islam memandang bahwa menjaga kualitas generasi merupakan hal penting. Semua elemen harus dilibatkan dalam membentuk kualitas generasi terbaik. Pertama, dimulai dari garda terdepan, yaitu pihak keluarga. Islam memerintahkan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan akidah Islam. Bukan dengan nilai-nilai materialistik yang meninggikan egonya. Akidah Islam akan membentuk anak-anak menjadi pribadi yang memilki akhlakul karimah. Sehingga baik mereka anak pejabat atau rakyat biasa tidak ada yang merasa rendah diri atau tinggi hati. Kerena keimananlah yang menjadi satu-satunya pembeda di antara keduanya.
Kedua, dari sisi masyarakat. Ciri khas masyarakat dalam sistem Islam adalah mereka memiliki budaya amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat yang demikian akan menjadi lingkungan yang baik untuk anak-anak. Sebab mereka bisa melihat praktik dan menerapkan aturan agama secara langsung. Ketiga, dari sisi negara. Negara wajib menjadi perisai bagi anak-anak. Agar mereka tidak salah dalam menetapkan tujuan hidupnya. Caranya yaitu dengan:
1. Menerapkan sistem pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam disusun dalam rangka membentuk kepribadian Islam yang utuh pada siswa. Baik dari sisi akidah, tsaqofah, maupun penguasaan iptek. Konsep ini akan membuat suasana keimanan generasi semakin kuat. Mereka akan dengan sendirinya menghindari perbuatan anarkis, penganiayaan, pelecehan, dan sejenisnya.
2. Negara akan mengatur sistem sosial. Negara akan menjaga agar interaksi antara laki-laki dan perempuan terjalin interaksi yang produktif dan saling tolong menolong dalam membangun umat yang dilandasi keimanan kepada Allah Swt. Sehingga, tidak akan terjalin hubungan-hubungan yang dilarang oleh hukum syara semisal pacaran.
3. Negara juga akan mengatur media. Dalam sistem Islam, media memiliki fungsi strategis sebagai sarana edukasi bagi masyarakat agar mereka semakin paham terhadap syariat.
Jika ada pelanggaran hukum syariat Islam, para pelaku akan dikenai sanksi Islam. Dalam sistem Islam, hukum akan diterapkan kepada mereka yang telah mencapai usia baligh. Maka, ketika para pelaku di beberapa kasus telah disebutkan telah baligh, uqubat Islam wajib diberikan kepada mereka.
Dalam kitab Sistem Hukum Islam, karya Syekh Abdurrahman Maliki, menjelaskan bahwa untuk kasus penganiayaan, sanksinya berupa jinayah. Yaitu hukuman setimpal (qishas) karena sudah membahayakan nyawa orang lain. Sementara untuk kasus kekerasan, qadhi akan memutuskan perkaranya dengan sanksi ta’zir. Kemudian untuk kasus roda paksa, pelaku akan dikenai hudud zina ghairu muhsan. Yaitu dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Semua ini dilakukan untuk memberikan efek jera pada pelaku dan juga agar masyarakat yang lain tidak melakukan pelanggaran hukum syara.
Dengan mekanisme seperti ini, negara dalam sistem Islam mampu menyelesaikan akar masalah penyebab kenakalan remaja. Alhasil, anak-anak akan tumbuh dan berkembang sebagai pribadi muslim berakhlak mulia.
Wallahu a’lam bishawab.