Oleh: Mirna
Bencana alam mungkin satu-satunya sumber kehancuran yang sulit manusia perkirakan, meskipun saat ini alat deteksi dan mitigasi bencana banyak bertebaran, dengan berbagai metode dan cara serta teknologi canggih. Namun jika semua itu dihadapkan pada ketepatan Tuhan maka, sekuat dan sehebat apapun manusia tentu tidak bisa mencegahnya. Satu hal yang bisa dijadikan sebagai warning bahwa dalam setiap tindakan Tuhan selaku pencipta telah membebankan hamba-Nya dengan konskuensi sebuah hasil akhir dari pilihan atau perbuatan. Memang bencana adalah ketetapan sang pencipta, namun faktor pendorong terbesarnya adalah manusia. Terutama pada kasus kerusakan yang dipicu oleh nafsu dan ego kapitalis. Banjir salah satu contohnya. Sebut saja Kalimantan selatan, sebagai salah satu provinsi di Indonesia.
Banjir merupakan tamu wajib yang menyapa sebagian besar wilayahnya. Banjir layaknya rutinatas yang akan muncul saat curah hujan tinggi. Memang Kalimantan Selatan dikenal sebagai wilayah seribu sungai. Namun kasus kebanjiran tidaklah semasif sekarang, padahal hadirnya banjir tentu menyebabkan banyak kerugian. Rusaknya infrastruktur, seperti pemukiman, jalan dan jembatan, dan semua ini akan berimbas pada sektor pembangunan. Distribusi sering terhambat karena jembatan runtuh maupun jalan rusak. Kerugian ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan dampak lain seperti korban jiwa, hilangnya harta benda serta dampak bawaan semisal malaria, muntaber, sisa banjir (lumpur dan sampah). Semua perbaikan akibat banjir tentu menelan biaya yang tidak sedikit.
Pada kasus kebanjiran di wilayah-wilayah provinsi Kalimantan Selatan, aktivitas penambangan dan pembukaan lahan sawit menjadi sorotan utama. Seperti dipahami bersama Kalimantan dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia karena luas hutannya yang mencapai hingga 40,8 juta hektar. Hutan Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia karena kawasan hutannya yang sangat luas, yaitu sekitar 40,8 juta hektar. Kalimantan bahkan memiliki julukan epic “zambrut khatulistiwa” karena kanopi hutan hujan tropis yang pekat jika dilihat dari citra satelit.
Sayangnya laju deforestasi di Kalimantan demikian cepatnya. Menurut data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada 2000 sampai dengan 2005 mencapai sekitar 1,23 juta hektare. Artinya sekitar 673 hektare hutan di Kalimantan mengalami deforestasi setiap harinya pada periode tersebut. Luas hutan di seluruh provinsi yang ada di Kalimantan mencapai sekitar 40,8 juta hektare. Sementara itu menurut Greenpeace, hutan di Kalimantan hanya tersisa 25,5 juta di tahun 2010.
Data yang dikeluarkan oleh State of the World's Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 adalah 1,8 juta hektar/tahun. Tingginya laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record menganugrahi Indonesia sebagai negara yang laju kerusakan hutannya tercepat di dunia. Sebuah prestasi yang tidak patut untuk dibanggakan. Difortase hutan terbesar di Kalimantan berasal dari alih fungsi lahan. Pembabatan hutan untuk lahan sawit terutama tambang, membuat hutan mengalami mal fungsi. Kemampuan akar tanaman sebagai penyerap air menjadi berkurang, hingga saat hujan deras wilayah Kalimantan rentan kebanjiran. Padahal selain kebanjiran, polusi udara, tanah dan air menjadi masalah berikutnya yang akan muncul karena penebangan hutan.
Sayangnya pemerintah kadang kala tutup mata dengan fakta ini, bahkan sebagian besar pengusaha sawit dan tambang yang berasal dari swasta atau indvidu serta asing, diberi izin untuk beroperasi meskipun penduduk sekitar menolak hal itu. Tidak salah kiranya jika sematan “budak koporasi” menghiasi dahi-dahi para pemimpin negeri. Penguasa dan pengusaha diibaratkan “backstreet relationship”. Terkadang para penguasa menyatakan menentang aktivitas penebangan dan kelola lahan tanpa AMDAL. Namun disisi lain mereka juga terikat hukum sebab-akibat.
Sistem demokrasi sekuler, membuat segala berwarna materialis dan hedonis. Untuk bisa menjadi pemimpin di negeri ini, “mereka” perlu sokongan dan biaya dari pengusaha, dengan syarat mutlak saat terpilih ada imbal jasa yang harus dipenuhi. Perizinan buka lahan dipermudah, penggalian sumber daya yang terlindungi, serta penjagaan secara eksplisit. Itulah buah peraturan sistem kapitalis, yang membentuk penguasa haus kuasa, berlomba menumpuk harta dan bangga. Padahal semua yang mereka dapatkan berasal dari pendzoliman terhadap alam dan masyarakat yang memilih untuk memberi amanah dengan harapan pengelolaan yang benar dan adil.
Memang sudah bukan rahasia lagi, Kalimantan adalah salah satu surganya emas hitam, barang tambang ini menyebar diperut bumi Kalimantan. Hingga wajar banyak corporate menjadi gelap mata dengan harapan untung berlipat ganda. Untuk wilayah Kalimatan Selatan sendiri ada lima perusahaan besar pertambangan batu bara yang rutin mengeruk hasil, selain itu masih banyak anak perusahaan lainnya yang tersebar disetiap titik wilayah emas hitam ini. Sudah bisa dibayangkan berapa banyak kerusakan hutan yang mereka hasilkan?. Bagaimana banjir akan berhenti berlangganan jika aktivitas ini terus dilakukan. Belum lagi tata kelola pemukiman dan lahan yang salah membuat bencana banjir semakin kian menyiksa.
Menghentikan hal ini terasa mustahil, mengingat tambang seperti dua sisi mata uang. Satu merugikan karena tata kelola yang salah, satunya lagi merupakan salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat yang bekerja sebagai karyawan maupun buruh tambang. Sejatinya jika pengelolaan terhadap tambang tidak berbasis kapitalis, tentunya pengelolaan ini tidak akan merugikan masyarakat. Tambang adalah salah satu kekayaan milik negara, bukan swasta apalagi pribadi, meskinya pemerintah yang kelola dan manfaatkan hasilnya untuk kepentingan masyarakat. Melimpahnya tambang batu bara merupakan rizki besar yang Allah titipkan pada tanah Kalimantan. Sistem kelola bebasis kapitalis harus diganti, karena jelas bersifat neoliberalis dan materialis. Ada satu sistem kelola yang bisa menjadi pilihan tepat untuk menghentikan perngrusakan alam, yakni sistem yang berasal dari sang Pencipta. Sistem berbasis agama, memiliki aturan ketat dan mampu mensejahterakan umat. Aturan kelola lahan tambang jelas, tanpa imbel-imbel korporat-korporat yang hanya mementingkan perut mereka sendiri. Agama akan menjadi pengikat paling kuat, sehingga ketidak adilan sulit dilakukan karena ketakutan akan siksa dari Tuhan akibat kelalaian dalam pengelolaan lahan dan urusan rakyat. Sistem berbasis agama ini biasa juga disebut sistem Khilafah.
Sebuah sistem yang terbukti 13 abad lamanya mmapu menjaga amanah dan menjalankan peran dengan baik sehingga berhasil menciptakan sosok-sosok pemimpin amanah, peduli rakyat paling penting takut jika gagal melaksanakan perintah Allah. Wallahualam bish-shawab
Tags
Opini