Indonesia Juara! Kasus TBC Peringkat Dua Dunia



Oleh : Siti Nur Fadillah
Pegiat Literasi 


Belum tuntas dengan segudang problematika umat yang tak kunjung usai, Indonesia kembali dihadapkan dengan kenaikan kasus tuberkulosis (TBC). Tak tanggung-tanggung kenaikan kasus TBC melebihi 200%, hingga menempatkan Indonesia menjadi nomor dua kasus TBC terbanyak di dunia (Berita Satu, 17/03/2023). 

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, mengatakan “Kasus TBC di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Tercatat, pada tahun 2021, kasus TBC sebanyak 443.235 dan meningkat menjadi 717.941 pada tahun 2022. Lalu data sementara untuk 2023 ada 118.438 kasus.” Imran juga menuturkan, rentang usia TBC produktif yaitu 45-54 tahun. Dengan penyumbang paling banyak berasal dari kalangan buruh, nelayan, wiraswasta, pegawai BUMN, dan PNS. Adapun rinciannya meliputi buruh sebanyak 54.887 kasus, petani atau peternak atau nelayan (51.941), wiraswasta (44.299), pegawai swasta atau BUMN atau BUMD (37.235), dan PNS (4.778) (Berita Satu, 17/03/2023).

Multi Faktor Pemicu TBC di Indonesia

Dari segi medis, TBC merupakan suatu penyakit kronis yang diakibatkan oleh infeksi. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 menjelaskan, TBC merupakan penyebab kematian nomor satu dalam kelompok penyakit infeksi. TBC merupakan ancaman besar, sebab setiap tahun memakan korban sekitar 140.000 jiwa. Peningkatan jumlah kasus TBC disebabkan oleh berbagai faktor, baik sistemis, lingkungan, hingga individual. 
Faktor sistemis antara lain krisis ekonomi, harga obat yang mahal, dan ketersediaan obat. Saat ini penanggulangan TBC sepenuhnya bergantung pada obat-obatan, dimana untuk menjamin ketersediaannya perlu dana yang tidak sedikit. Mulai dari penelitian, produksi, hingga distribusi semua prosesnya membutuhkan sokongan dana adekuat. Namun, dengan kondisi perekonomian kini, hutang luar negeri menggunung, SDA tergadai pada asing, dana pajak diselewengkan, apakah mungkin Indonesia mampu hanya dengan mengandalkan APBN? Jika sudah seperti ini, tak ayal pemerintah dengan mudah menjual tanggung jawab mereka pada oligarki yang hanya rakus akan keuntungan pribadi. 

Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga berkontribusi pada melejitnya TBC. Seperti yang disebutkan sebelumnya, penyumbang TBC paling banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan dalam menjalankan pengobatan yang berkesinambungan. Bahkan dengan edukasi dari tenaga kesehatan pun, bukan jaminan masyarakat sadar untuk tertib berobat. Maka sekali lagi, tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang merata kembali dipertanyakan. 

Resiko terinfeksi TBC sebagian besar juga disebabkan faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, kurangnya pencahayaan natural, serta pemukiman padat dan kumuh. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan juga menjadi akar masalah penularan TBC. Kemiskinan menjadikan masyarakat tidak mampu menjangkau makanan bergizi, lingkungan yang bersih, dan pengobatan yang memadai. Kemiskinan juga berdampak pada faktor individu seperti rendahnya sistem kekebalan tubuh dan gizi buruk.

Dari uraian ini, dapat kita pahami bahwa TBC merupakan masalah sistemis yang memerlukan peran negara sebagai pemimpin dan pengurus rakyat. Mulai dari menyediakan pendanaan yang cukup, fasilitas kesehatan gratis, pendidikan yang merata, hingga mengentaskan masalah kemiskinan. Namun, sampai kapan pun peran tersebut tidak akan terwujud jika sistem kapitalisme masih bercokol. Sebab sistem kapitalismelah akar masalah sebenarnya dari Indonesia.

Kapitalisme memberikan kesempatan kepada sekelompok kecil rakyat yang memiliki uang dan kekuasaan melakukan berbagai rekayasa, hingga semua aturan dan pemimpin selalu mengabdi kepada kepentingan mereka. Akibatnya kepentingan rakyat miskin menjadi tersingkir dan terjajah. 

Solusi Tuntas Masalah Kesehatan

Penanggulangan TBC dan seluruh permasalahan Indonesia secara tuntas hanya bisa dilakukan dengan mengubah total dengan sistem yang amanah. Yaitu sistem yang mau dengan ikhlas dan adil mengurus seluruh kebutuhan rakyat, tanpa memandang kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki. Dan satu-satunya sistem yang mampu melakukan hal tersebut adalah sistem Islam. Bukan berasal dari pemikiran manusia, Islam terpancar dari mata air pemikiran yang bersumber dari Allah Swt, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Diturunkan Allah agar menjadi rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh manusia dan alam semesta.

Penerapan sistem Islam secara menyeluruh hanya bisa terlaksana dalam bingkai negara Islam yaitu khilafah Islamiyyah. Prinsip khilafah Islamiyyah dalam mengatasi masalah kesehatan antara lain:
Pertama, Islam menetapkan negara adalah pengurus rakyat, termasuk dalam penanggulangan penyakit menular ini. Negara berkewajiban melaksanakan berbagai upaya dan langkah yang komprehensif untuk menanggulangi akar masalah secara tuntas, melalui sistem kesehatan yang handal yang ditopang oleh sistem politik dan ekonomi berdasarkan Islam. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya” (HR Bukhari)

Kedua, khilafah menjadikan pelayanan kesehatan adalah pelayanan publik sebagaimana kebutuhan pokok sehari-hari, semua rakyat baik kaya maupun miskin dapat mengakses secara gratis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari)

Ketiga, pendanaan yang berkelanjutan dengan sistem ekonomi Islam. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang mengandalkan pajak, pendanaan Khilafah berasal dari berbagai sumber haq sesuai syari’ah. Sumber dana utama Khilafah berasal dari harta milik umum yang haram untuk dikomersialisasi dan dimiliki pribadi. Sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yaitu, 

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam hadis tersebut dengan jelas Rasulullah menyebutkan bahwa padang rumput (hutan), air, dan api (energi) merupakan milik umat yang harus dimanfaatkan untuk kebutuhan umum, bukan untuk pribadi. 
Namun, apakah benar dengan mengandalkan SDA dapat menjamin pendanaan yang cukup? Di sinilah letak kebenaran perintah Allah, apapun yang berasal dari Sang Khaliq pasti memiliki hikmah bagi manusia.

Dalam sebuah artikel disebutkan, pendapatan dari tambang emas di Indonesia: Produk tahunan dari dua tambang yaitu Grasberg papua dan sumbawa (2011): 58 ton emas atau 580.000 ons. Jika harga emas adalah $1600/ons, maka bisa didapat: 580.000 x $1600 = $928.000.000 atau setara Rp14T/tahun (Wacana Edukasi, 19/07/2021). 

Tentu jumlah tersebut belum termasuk SDA lain seperti batubara, minyak bumi, gas alam, timah, tembaga, dll. Jika seluruh kekayaan tersebut dikelola dengan baik, seluruh permasalahan ekonomi Indonesia teratasi secara tuntas.

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan karunia bagi umat Islam dan seluruh penduduk bumi ini dengan kekayaan yang tiada tara. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Negara khilafah dengan seluruh karunia dari Sang Maha Pencipta dan Maha Kaya, akan mengelola seluruh kekayaan yang diberiNya dengan tuntunan syariatNya, sehingga mampu mengentaskan kemiskinan, dan menebarkan berkah dan rahmat ke seluruh pelosok bumi. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak