Ilusi Memberantas Kekerasan Seksual dalam Sistem Sekuler




Ditulis oleh: Sri Wahyu Anggraini, S.Pd (Aktivis Muslimah Lubuklinggau)


Kasus kekerasan seksual kembali menjadi topik yang dibahas di berbagai media. Sepanjang tahun publik diresahkan dan dibuat geram dengan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual.

Seorang guru ngaji berinisial MY (34) warga Jalan Depati Said RT.2 Kelurahan Sidorejo Kecamatan Lubuklinggau Barat II Kota Lubuklinggau ditangkap Polisi. MY ditangkap Selasa 7 Maret 2023 sekitar pukul 19.00 WIB, saat menjadi juri Seleksi Tilawatil Quran (STQ) di Kabupaten Muratara. Ia ditangkap karena diduga mencabuli dua santriwati sebut saja Kuncup (10) warga Kuntum (8) keduanya warga Kecamatan Lubuklinggau Barat II Kota Lubuklinggau. Hal ini dijelaskan dalam pers rilis Kapolres Lubuklinggau AKBP Harissandi didampingi Kasat Reskrim AKP Robi Sugara, KBO Reskrim Iptu Bambang S, Kanit Pidum Iptu Jemmy Amin Gumayel dan Kanit PPA Aiptu Cristina Tuppesy, (LinggauPos,co.id, 13/03/2023)

Mendengar kabar tersebut membuat siapa saja miris, sedih bahkan marah, apalagi pelaku adalah guru ngaji, terlihat baik, dan disegani masyarakat disekitarnya. Pemuka agama yang seharusnya menjadi pelindung dan teladan dalam kebaikan namun justru menjadi pelaku kerusakan. Negeri ini walau mayoritas berpenduduknya Muslim, namun lslam belum menjadi standar dalam menilai baik dan buruk. Baik dan buruk disandarkan pada suara mayoritas. Pemisahan Agama dalam negara menjadikan standar baik dan buruk tidak pasti, sering berubah dan bisa diakali sesuai keinginan serta kepentingan.

Secara fitrah, manusia memiliki gharizah nau’ (naluri kasih sayang). Naluri ini menuntut pemenuhan. Saat ini, cara pandang pemenuhannya mengacu pada Barat, yakni segala sesuatu boleh asalkan mendapatkan kepuasan. Penerapan Sistem sekularisme - liberalisme yang hanya mengutamakan nafsu semata, serta memisahkan agama dari kehidupan, akidah Islam tidaklah dijadikan asas dalam menyelesaikan masalah maka kasus kekerasan seksual pada anak akan terus ada. Apalagi didukung dengan konten sosial media bebas tanpa dibatasi etika apalagi agama, pornoaksi serta pornografi mudah diakses siapa pun, semakin membuat syahwat mudah bergejolak. Tak ayal pertahanan keimanan akhirnya jebol karena terus menerus digempur konten seputar seks. Selain itu dari  sisi korban akan berdampak psikologis yang berkepanjangan, malu dan merasa diri hina karena telah mendapat perlakuan nista. Tidak mudah mengembalikan rasa percaya diri, salah penanganan akan semakin memperparah kondisi hingga bisa menyebabkan stres, depresi hingga bunuh diri.

Ini hanya segelintir kasus yang viral. Tentu kejadian di lapangan ibarat fenomena gunung es, jauh lebih banyak dari yang viral dan dilaporkan. Peningkatan kasus kekerasan seksual ini lagi-lagi membuktikan dengan jelas bahwa hukum buatan manusia tak mampu menuntaskan persoalan ini hingga ke akar. Terbatasnya akal manusia mengakibatkan kekeliruan dalam memahami akar masalah, yang akhirnya berujung pada ketidaktepatan langkah pemecahan.Banyaknya kasus kekerasan saat ini harusnya membuka mata kita bahwa sistem sekarang tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan terkesan dibiarkan saja. Kasus kekerasan bukannya tambah sedikit, tetapi tambah banyak. Dengan demikian, jalan satu-satunya untuk memutus rantai kekerasan perempuan dan semisalnya hanya dengan menerapkan Islam secara sempurna dalam bingkai khilafah.

Di dalam Islam Negara hadir melindungi masyarakat agar terhindar dari perilaku yang menyimpang. Beberapa langkah yang ditempuh adalah:

Pertama, negara mengedukasi masyarakat agar taat pada syariat, dengan jalan memfasilitasi sarana thalabul ilmi. Dari sini diharapkan keimanan masyarakat terjaga, yakin senantiasa diawasi oleh Allah SWT dan takut melakukan kemaksiatan. 

Kedua, negara menutup semua akses pornografi maupun pornoaksi karena merupakan jalan yang keji dan dilarang dalam syariat. Sehingga tidak akan dijumpai konten baik gambar atau tontonan yang bisa mèmbangkitkan syahwat.

Ketiga, negara akan memberikan sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang terlibat dalam pembuatan, penyebar, pelaku dan pengakses konten pornoaksi maupun pornografi. Sanksi yang dikenakan bersifat jawazir/pencegahan dan jawabir/penebus di akhirat karena sudah dilaksanakan di dunia.

Sedangkan kasus pencabulan jika masuk pada perkosaan maka sanksinya sama dengan pelaku zina. Sanksinya jika pelakunya sudah menikah maka dirajam hingga mati dan disaksikan oleh khalayak di tempat terbuka. Jika pelakunya belum menikah maka akan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun di kota yang jauh. Pada kasus pencabulan yang tidak sampai pada perzinahan maka berlaku takzir, sanksi yang dikenakan bisa penjara 5 tahun, jilid 100 kali atau sanksi tegas lain sesuai pendapat pemimpin.

Pelaksanaan sanksi dijalankan dalam rangka memelihara kehormatan, agar kehidupan berjalan dengan tenang. Dari sini jelas bahwa pencabulan akan bisa dihilangkan sampai ke akarnya hanya dengan penerapan syariat lslam secara kaffah.

Wallahu A'lam Bishawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak