Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Tingkah para pejabat yang pamer harta dan memakai fasilitas negara tidak sesuai kepentingannya, membuat masyarakat geram. Belum lagi dengan citra dan kinerja yang dinilai buruk. Menambah stigma negatif bagi sebagian pejabat.
Belum lama ini, seorang anak pejabat yang terlibat penganiayaan menjadi sorotan publik. Selain kasus penganiayaan, masyarakat juga memperhatikan gaya hidup mewah yang selalu dipamerkan. Kemewahan itu mengundang keingintahuan masyarakat terhadap kekayaan dari ayahnya Rafael Alun Trisambodo sebagai pejabat Ditjen Pajak.
Diketahui, Rafael memiliki harta kekayaan sebesar Rp 51,6 miliar miliaran saat menjabat sebagai Kepala Bagian Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II (liputan6.com 1/3/23). Kekayaan yang fantastis untuk seorang pejabat yang memiliki gaji tidak lebih dari Rp 5 juta. Kekayaan itu dianggap tidak wajar oleh masyarakat. Walaupun telah dibantah terkait sumber kekayaan tersebut. Namun masyarakat masih sangsi.
Belum hilang dari ingatan masyarakat, fasilitas dinas yang disalahgunakan juga terjadi, seperti di Jambi. Anak pejabat tersebut menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi. Belum lagi, gaya istri para pejabat yang memamerkan harta bendanya di media sosial.
Terkuaknya gaya hidup mewah salah satu pejabat Ditjen Pajak ibarat fenomena gunung es. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta, menilai ini seperti fenomena gunung es, yang terlihat baru puncaknya saja. Sementara di bawah lautan jumlahnya banyak dan belum teridentifikasi. Inilah yang menyebabkan kenapa ketimpangan ekonomi bangsa menganga lebar. (kompas.com 28/2/23)
Kapitalisme sekuler membangun masyarakat berkarakter materialistis yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Kehidupan hedonis yang terjadi dikalangan pejabat akibat memenuhi hawa nafsu semata. Apalagi istri dan anak-anak mereka mulai terjangkit virus foya-foya demi mengejar kesenangan duniawi. Perilaku konsumerisme dan hedonisme dalam masyarakat akibat pemahaman liberal saat ini.
Persoalan hedonisme tidak akan berlarut-larut bila memiliki tujuan hidup yang shahih. Kenikmatan bukan sekadar membeli barang-barang mewah. Sebaliknya, mensyukuri apa yang telah Allah Swt. diberikan. Serta memahami semua harta yang diperoleh merupakan titipan dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Menghilangkan kebiasaan buruk itu hanya dengan kembali lagi kepada aturan yang benar. Bagaimana Rasulullah Saw., dan para sahabat mencontohkan gaya hidup sederhana dan qana'ah. Islam mengajarkan mana kebutuhan dan keinginan. Dengan membangun pola pikir dan sikap yang selaras dan sesuai aturan Islam.
Membangun kesadaran masyarakat bisa dimulai dari pendidikan. Sejak dini, anak akan diajarkan nilai-nilai akidah dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri dalam bingkai syariat. Selain itu, menutup rapat pemahaman konsumerisme ala Barat yang sering diperlihatkan di media sosial.
Selama 13 abad peradaban Islam berjaya banyak kisah masyhur sahabat yang memegang teguh kejujuran dan amanah. Tidak memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi. Bahkan keluarganya pun dilarang menikmati yang bukan haknya. Seperti Abdullah bin Umar, menjadi anak Umar bin Khattab tidak mudah mendapatkan kemewahan. Bahkan tidak diberikan fasilitas dan kemudahan kepada anaknya terutama dalam bisnis.
Abdullah bin Umar pernah berbisnis unta. Seperti kebanyakan unta lainnya yang digembalakan di padang rumput. Namun, unta milik Abdullah paling gemuk berbeda dengan unta lainnya. Sehingga Umar marah dan menyuruh Abdullah menjualnya, lalu mengambil modal awal membeli dan sisanya dikembalikan ke baitul mal. Kisah lainnya tentang Abdullah saat sedang makan daging. Umar yang geram berkata, "apakah karena engkau anak dari amirul mukminin lalu engkau makan daging dengan nikmat, sementara orang-orang di luar sana sedang dalam keadaan susah? Tidakkah cukup roti dengan garam? Roti dengan minyak?"
Dari kisah Umar, kita bisa belajar bahwa kesederhanaan dan kesahajaan mencerminkan pemimpin yang bertanggung jawab dan amanah. Beliau tidak silau dengan harta dan jabatan, bahkan tidak memakai semua fasilitas untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pejabat yang amanah akan lahir dari Islam yang diterapkan dalam sistem kehidupan maupun pemerintahan. Waallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini