Fikih Peradaban Akankah Membawa pada Kebaikan?

Oleh: Hj Epi Lisnawati SP, MPd (Pegiat Literasi untuk Peradaban Terbaik)


Fikih peradaban dan Islam Nusantara kembali digaungkan. Nahdlatul Ulama mengusung hal ini sebagai rangkaian peringatan hari lahir satu abad. Dilihat dari kacamata sejarah perkembangan fikih, istilah fiqih peradaban dapat disejajarkan dengan tema-tema pembaharuan hukum Islam.

Fikih peradaban adalah gagasan yang diusung oleh PBNU, idenya muncul dari Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf. Gagasannya itu adalah mengajak para kiai-kiai terlibat membicarakan masalah-masalah yang dihadapi dunia saat ini. 

Fikih peradaban digunakan dalam makna yang lebih luas, tidak hanya dilihat dari perspektif hukum Islam saja. Ini dapat dilihat dari beberapa tema yang dijadikan obyek kajian dalam halaqah fiqih peradaban. Di antaranya tentang diskusi politik, ekonomi, hukum, wawasan kebangsaan, keagamaan, hak asasi manusia, kaum minoritas, aspek gender, pesantren, pendidikan, dan lain-lain.

Kemudian Fikih peradaban ini akan disosialisasikan melalui 240 halaqah peradaban yang diselenggarakan di seluruh Indonesia pada bulan Agustus sampai September. Dari Aceh sampai NTB, itu banyak sekali. Yang paling banyak di (Pulau) Jawa: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta. Semua kiai kita libatkan. Kiai-kiai di tingkat provinsi, wilayah, kabupaten, sampai tingkat ranting (desa).

Salah satu isu pokok yang dibahas dalam fikih peradaban adalah fikih siyasah (politik). Peradaban itu dimensinya banyak, tapi yang dibahas di sini adalah tentang fikih siyasah.
Dalam fikih siyasah pembahasan utamanya yaitu perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan umat Islam sejak abad 20.
 
Salah satu tema pembahasan dalam halaqoh peradaban ini adalah legitimasi lembaga internasional, namanya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). PBB ini adalah lembaga de facto yang sekarang ini disepakati oleh semua negara internasional sebagai lembaga yang mendorong terjadinya konsensus. Konsensus, misalnya, tentang menghormati kedaulatan masing-masing negara. Konsensus adanya hak-hak asasi universal, yang itu semuanya juga tidak dikenal di masa lampau. (Jatim.nu.or.id 2023)

Maka dalam fikih peradaban tersebut telah menempatkan piagam PBB dan PBB sebagai dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis. (Sumber :https://www.kompas.tv/article/375850/dibacakan-gus-mus-dan-yenny-wahid-nutegas-menolak-khilafah-dan-dukung-pbb-untuk-perdamaian-dunia).

Menurut Kiai Shiddiq Al Jawi bahwa piagam PBB tertolak sebagai sumber hukum Islam, salah satunya berdasarkan ilmu ushul fikih. Mengutip pendapat Imam Syafi’i, radhiyallāhu ‘anhu, menyatakan bahwa sumber hukum Islam (mashādirul ahkām), haruslah bersumber dari wahyu Allah, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Pendapat Imam Syafi’i, radhiyāllahu ‘anhu, menjelaskan pula, dari Al-Qur`an dan As-Sunnah itulah, para ulama kemudian mengistinbat sumber-sumber hukum Islam lainnya, yaitu ijmak dan qiyas. 

Hukum yang bersumber dari manusia atau hukum yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dalam istilah Al-Qur`an disebut dengan istilah hukum taghut atau hukum jahiliah. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surah Annisa ayat 60 artinya “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari taghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.” 

Maka, berdasarkan penjelasan tersebut, bahwa Piagam PBB sama sekali tertolak dan tidak dapat menjadi sumber hukum Islam. Alasannya karena Piagam PBB tidaklah bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau derivat dari keduanya), melainkan bersumber dari kesepakatan sejumlah manusia yang menandatangani Piagam PBB. 

Alhasil fikih peradaban yang menjadikan salah satu rujukan sumber hukumnya yaitu piagam PBB jelas harus ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan syariah. Alih-alih sesuai bahkan bertentangan dengan maksud diterapkannya syariah. 

Piagam PBB ini merupakan hasil kesepakatan manusia sementara sumber rujukan hukum bagi umat Islam harus dari pencipta yaitu Alloh Swt. Maka jelas terlihat melalui fikih peradaban ini merupakan salah satu upaya untuk menggantikan hukum buatan Sang Pencipta dengan hukum buatan manusia. 

Mereka sedang berupaya untuk menerapkan ideologi kapitalis sekuler melalui tangan para ulama dan kiai dengan alasan perdamaian dan keadilan untuk menjadikan hukum buatan manusia sebagai pengatur kehidupan. Padahal sejatinya aturan yang harus diterapkan untuk mengatur kehidupan manusia ini adalah aturan yang berasal dari Allah Swt yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah. 

Jika aturan Allah diterapkan maka keberkahan dan kesejahteraan akan melingkupi seluruh bumi. Sebaliknya jika aturan manusia yang diterapkan maka akan menimbulkan kemudharatan, kesengsaraan jauh dari berkah Allah Swt. Allah berfirman di QS Al A'raf ayat 96 artinya “Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari di langit dan bumi” (TQS Al-Araf 7:96).

Maka fikih peradaban yang mengusung hukum buatan manusia tidak akan membawa pada kebaikan dan keberkahan. Mari kita tolak, kemudian kita berjuang untuk menerapkan hukum Allah secara kaffah di tengah-tengah kehidupan.

Wallahu'alam Bishowwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak