Oleh : Dahlia
BLACKPINK tengah menggelar konser bertajuk 'WORLD TOUR [BORN PINK]' di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada akhir pekan ini. Konser dibagi menjadi 2 hari, yakni 11-12 Maret 2023.
Bertepatan dengan gelaran konser akbarnya di Jakarta, BLACKPINK dan BLINK mendapat kabar baik. Grup K-pop pelantun 'Pink Venom' tersebut baru saja memecahkan rekor sebagai kelompok penyanyi perempuan yang paling banyak didengar di Spotify seluruh dunia.
Penghargaan ini dikeluarkan oleh 'Guiness World Records' pada Sabtu kemarin, dikutip dari Korea Herald, Minggu (12/3/2023).
Hedonisme
Para penonton rela merogoh kocek dalam-dalam demi melihat aksi idolanya. Sebagai informasi, harga tiket konser Blackpink dipatok sekitar Rp1.350.000 hingga Rp3,8 juta. Di tangan calo, harga tiket bisa mencapai Rp10 juta. (Detik, 11-3-2023).
Untuk menonton konser Blackpink, tidak hanya biaya tiket yang harus dikeluarkan, masih banyak biaya printilan yang juga cukup menguras kantong. Misalnya, biaya transportasi menuju GBK, makanan, minuman, hotel untuk penonton dari luar Jakarta, juga aneka aksesori khas Blackpink.
Meski membutuhkan biaya besar, para penggemar yang didominasi remaja ini rela berkorban finansial demi berjumpa sang idola. Hal ini sungguh kontras dengan kondisi perekonomian Indonesia. Banyak orang miskin dan di-PHK, bahkan kemiskinan ekstrem juga marak terjadi. Namun, para remaja rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya demi menonton konser.
Fenomena ini sungguh memprihatinkan karena menunjukkan budaya hedonisme sekaligus buruknya prioritas amal para remaja tersebut. Padahal, uang jutaan tersebut lebih bermanfaat jika digunakan untuk biaya pendidikan ataupun keperluan lainnya yang lebih urgen.
Antusiasme masyarakat (terutama remaja) terhadap konser Blackpink merupakan cermin kondisi generasi muda kita hari ini, terlebih para remaja muslimah. Banyak penonton yang hadir tampak mengenakan hijab. Bahkan bisa kita pastikan mayoritas penonton adalah muslimah, mengingat penduduk negeri ini yang mayoritas muslim.
Mirisnya, para muslimah itu asyik dan larut bergoyang mengikuti alunan musik. Padahal, figur publik yang mereka saksikan di panggung mengumbar aurat dan menyajikan koreografi yang menonjolkan kecantikannya. Sungguh kontras, ketika para muslimah menutup auratnya, mereka justru mengelu-elukan perempuan yang mempertontonkan aurat. Sayangnya, sepertinya hal seperti ini dianggap wajar saja. Apalagi mengingat personel Blackpink yang nonmuslim sehingga seolah sah-sah saja buka-buka aurat.
Konser ini dan yang sejenisnya, sungguh berbahaya karena mengusung gaya hidup Barat yang memuja kebebasan. Aturan agama diabaikan, yang penting happy. Para muslimah yang seharusnya menjaga kehormatan dan kemuliaannya, justru menanggalkan rasa malunya dan berlenggak-lenggok mengikuti idolanya.
Sungguh menyedihkan semua yang dijajakan Barat diadopsi oleh umat Islam tanpa memikirkan kesesuaian maupun pertentangannya dengan Islam.
Umat Islam terus terombang-ambing mengikuti arus yang ada. Ke mana arus bergerak, umat Islam ikut ke sana, tanpa mengetahui kebaikan maupun keburukannya. Padahal, hari ini, kapitalisme tengah bergerak menuju kehancurannya. Kita bisa menyaksikan, kehancuran generasi di Barat sudah tampak terang benderang. Mulai dari resesi generasi, maraknya aborsi, hingga budaya kekerasan pada generasi muda. Lantas, para pemuda muslim hendak dibawa untuk meniru mereka dan selanjutnya mengalami kerusakan yang sama?
Tidak Memiliki Visi terhadap Generasi
Patut kita ingat, kemunduran generasi muda muslim tersebut bukan terjadi semata karena sikap para remaja. Nyatanya, negara memang memfasilitasi terjadinya serangan gaya hidup asing. Dalam konser Blackpink, pemerintah memberikan dukungan penuh berupa izin digelarnya konser, izin menggunakan (menyewa) GBK, juga pengerahan lebih dari 1.000 personel pengamanan. Tidak hanya kepada Blackpink, izin juga diberikan pada artis lainnya, asalkan bersedia membayar biaya sewa.
Namun, sikap berbeda ditunjukkan pemerintah pada para pemuda muslim yang berikhtiar mengkaji Islam. Mereka dicap teroris, radikal, dan aneka stigma lainnya. Kebijakan penguasa ini membuat publik bertanya-tanya, mengapa konser yang jelas-jelas membahayakan kepribadian generasi muda justru difasilitasi, sedangkan kegiatan dakwah Islam dicurigai dan dianggap berbahaya?
Tampak bahwa negara tidak memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas terhadap generasi. Akibatnya, negara salah meletakkan prioritas dan kebijakannya justru menumbuhsuburkan praktik hedonisme. Serangan budaya dari luar diterima dan difasilitasi dengan biaya besar, sedangkan ikhtiar sebagian pihak memberi pemahaman yang benar pada generasi muda melalui dakwah amar makruf nahi mungkar justru dilarang dan dikriminalisasi.
Jika hal ini diteruskan, para remaja akan makin jauh dari Islam. Berbagai kerusakan generasi, seperti pergaulan bebas, aborsi, kenakalan remaja, kriminalitas, narkoba, dsb. akan makin parah. Jika demikian, bagaimana nasib negeri ini pada masa depan?
Tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan generasi berkepribadian Islam, yaitu yang memiliki pola pikir dan pola jiwa Islam. Dasar pendidikan berupa akidah Islam. Sementara itu, materi ajar berupa tsaqafah Islam dan ilmu sains. Dengan demikian, hasilnya adalah individu yang bertakwa dan sekaligus unggul dalam iptek.
Khilafah akan menjadi junnah (perisai) yang melindungi generasi dari serangan pemikiran, tsaqafah, dan gaya hidup asing. Berbagai tayangan, konten, kegiatan, bacaan, dll. yang mengusung gaya hidup tidak islami akan dilarang.
Sebaliknya, para remaja akan disibukkan untuk menuntut ilmu, beribadah, menghafalkan Al-Qur’an, hadis, dan kitab para ulama; melakukan penelitian, membentuk skill mujahid, dan berbagai kegiatan sejenis yang linier dengan tujuan membentuk sosok berkepribadian Islam.
Walhasil, remaja dalam Khilafah tidak akan terjebak dalam budaya hura-hura. Usia mereka produktif untuk melakukan kebaikan dan menyebarkannya. Dengan demikian, jadilah mereka generasi pembebas seperti para pendahulunya, yaitu Shalahuddin al-Ayyubi, Muhammad al-Fatih, dan lainnya. Insyaallah
Tags
Opini