Oleh : Ummu Hadyan
Kabar kenaikan tarif air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) terjadi di berbagai daerah. Misalnya, di Surabaya yang dikabarkan telah naik dari Rp600 menjadi Rp2.600. Indramayu merencanakan naik 30%. Palembang juga akan naik pada Maret 2023 sesuai kategori sosial 7,5%, pelanggan rumah tangga 15%, dan kategori niaga 17,5%. Kota Bandung bahkan sudah menaikkan tarif PDAM dari Rp 1.000 per meter kubik (m3) naik menjadi Rp 9.000/m3 pada Desember 2022.
Tidak hanya di Jawa, di luar pulau pun naik. Misal, PDAM Way Rilau Bandar Lampung juga menaikkan tarif dengan pembagian pelanggan kelompok I kategori sosial umum bertarif Rp2.500. Kelompok II terdapat 5 kategori dikenakan tarif Rp4.700, kelompok III terdapat 3 kategori menerapkan tarif Rp6.200, harga itu hanya berlaku pada pemakaian 10 kubik jika lebih harganya bertambah. Kemudian di Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan pada 1-2-2023.
Alasan yang sama diutarakan dalam kasus kenaikan ini, misalnya untuk menutupi pembiayaan perawatan pipa atau untuk perluasan pelayanan PDAM agar dapat menjangkau masyarakat pinggiran.
Mayoritas masyarakat merasa keberatan dengan kenaikan tarif ini. Sebagaimana di Kabupaten Indramayu, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) cabang Indramayu dan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) melakukan unjuk rasa. Mereka memprotes kebijakan kenaikan tarif air PDAM. Bahkan, ibu-ibu dari KPI mengutarakan jika selama ini pelayanan air kurang bagus, sering mati, atau apabila keluar, alirannya kecil. Selain itu, kebijakan kenaikan juga akan memberatkan masyarakat.
Sangat wajar jika warga mengeluhkan kebijakan kenaikan PDAM ini. Dari sisi masyarakat mereka sedang berjuang untuk kembali bangkit setelah pandemi yang membuat perekonomian mereka terpuruk. Beban hidup yang semakin lama makin mahal juga tidak bisa dihindari oleh warga. Namun realitanya banyak terjadi PHK, ekonomi mengalami resesi, masyarakat harus pontang panting memutar otak agar bisa tetap hidup. Jadi ketika ada kebijakan tarif dasar PDAM naik jelas memberatkan warga. Karna air adalah kebutuhan dasar setiap orang. Jika tarif nya naik maka beban hidup semakin bertambah.
Apa yang dialami oleh masyarakat ini sejatinya adalah bentuk kezaliman akibat penerapan sistem Kapitalisme oleh penguasa. Sistem ini melegalkan liberalisasi sumber daya alam yang sejatinya adalah milik umum atau rakyat. Konsekuensi liberalisasi pasti akan terjadi komersialisasi. Akhirnya kekayaan umum yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat justru dijadikan sebagai ladang bisnis.
Prinsip inilah yang digunakan oleh penguasa dalam Kapitalisme ketika melayani kebutuhan warga negaranya. Penguasa Kapitalisme tidak bisa berkutik didepan para swasta pemilik modal yang menguasai sumber daya alam. Jikapun dikelola oleh negara, negara akan melakukan kerjasama dengan swasta atau bisa jadi pelayanan yang diberikan menganut prinsip untung rugi, karna negara juga butuh pemasukan anggaran.
Akhirnya pelayanan yang seharusnya didasari atas prinsip jaminan sosial yang gratis, justru diberikan dengan prinsip bisnis.Maka tidak heran, air yang notabene adalah sumber daya alam yang bisa dinikmati rakyat secara gratis, justru hanya bisa dinikmati ketika berbayar.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah ketika mengurus hajat atau kebutuhan rakyat. Dalam pandangan Islam kekayaan alam adalah harta kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda: "Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yakni air, rumput dan api". (HR. Ibnu Majah)
Tekait kepemilkan umum Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abyan bin Hammal, Abyan pernah meminta izin untuk mengelola tambang garam, kemudian Rasulullah SAW menyetujui hal itu. Rasulullah SAW diingatkan oleh salah seorang sahabat : "Wahai Rasulullah, tahukah anda apa yang anda telah berikan kepada dia? sungguh anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir". Rasulullah SAW kemudian bersabda : "Ambil kembali tambang tersebut dari dia". (HR. At Tirmidzi)
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya melimpah yang mengalir terus menerus. Hadits tersebut merupakan tambang garam yang kandungannya sama banyak dengan air yang mengalir. Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani memberi penjelasan terkait hal ini yaitu ketika Nabi SAW mengetahui tambang garam tersebut laksana air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak akan pernah habis seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Hal ini karna sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karna itu beliau melarang siapapun memilikinya sementara yang lain terhalang.
Inilah prinsip ekonomi Islam mengelola kekayaan milik umum. Pertama, tidak boleh ada privatisasi. Kedua, jumlah sumberdaya itu sangat besar. Kekayaan sumber daya alam dikelola negara dan hasilnya harus diberikan kepada warga seluruhnya.
Terkait pemanfaatannya, Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nidzham al Iqtishadi dan Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fid Daulah menjelaskan ada dua kelompok :
Pertama, kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga, contohnya seperti sungai, laut, padang rumput, sumber air, dan sejenisnya. Dalam hal ini Khilafah hanya cukup mengatur dan mengawasi pemanfaatan nya agar bisa dinikmati oleh seluruh warga dan tidak menimbulkan kemudharatan atau bahaya. Maka jika dalam Khilafah PDAM bisa jadi gratis dinikmati karna air termasuk kedalam kelompok ini.
Kedua, kekayaan alam yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga, contohnya seperti barang tambang emas, perak, batu bara, minyak bumi dan sejenisnya. Agar hasilnya bisa dinikmati diperlukan eksplorasi, eksploitasi, tenaga ahli, biaya yang besar dan alat alat yang canggih. Maka pengelolaan jenis yang kedua ini dibebankan kepada negara dan hasilnya diberikan kepada rakyat baik secara langsung dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung dengan memberikan jaminan kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis karna dibiayai dari pengelolaan sumber daya alam mandiri ini.
Dengan demikian kenaikan tarif PDAM merupakan akibat masalah sistemik sehingga diperlukan solusi sistemik pula yakni dengan penerapan syariah dalam naungan Khilafah.
Wallahu a'lam bish shawabi.
Tags
Opini