Oleh: Tri S, S.Si
Air sudah menjadi kebutuhan vital masyarakat. Hampir semua aktivitasnya memerlukan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam berbagai sektor kehidupan. Maka tidak heran apabila para perempuan ini melakukan aksi protes.
Perempuan dari berbagai kalangan yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Cabang Indramayu mendatangi gedung DPRD untuk melakukan aksi protes akan rencana kenaikan tarif air bersih Perumdam Tirta Darma Ayu. Mereka mengeluhkan jika tarif air sampai naik menjadi 30 persen, hanya akan menambah beban hidup mereka di tengah keadaan perekonomian yang belum stabil akibat hantaman pandemi Covid-19. Di sisi lain PDAM berdalih, tarif yang berlaku rata-rata saat ini belum bisa menutup biaya secara penuh (full cost recovery) dan kenaikan tarif yang diberlakukanini masih di bawah dari tarif batas bawah yang telah ditentukan oleh Gubernur Jawa Barat (Repjabar.republika.co.id 28/01/2023).
Sangat disayangkan ketika ada wacana untuk menaikkan tarif PDAM di tengah-tengah kebutuhan hidup rakyat yang serba sulit dan serba naik. Mahalnya kebutuhan pokok, tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, kenaikan Tarif Dasar Listrik, dan harga Bahan Bakar Minyak yang juga sudah duluan naik, kini kebutuhan vital pun yaitu air juga ikut naik, tentu saja semakin memperparah kondisi ekonomi rakyat yang sudah susah. Rakyat harus berjuang keras untuk tetap bertahan hidup dan bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Belum lagi sempat beranjak, kenaikan tarif PDAM membuat ekonomi rakyat tak juga dapat terangkat.
Maka bisa saja terjadi jika ada sebagian masyarakat terutama menengah ke bawah yang tidak mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hanya karena tidak mampu membayar tagihan air yang mereka rasakan mahal. Karena semestinya air sebagai kebutuhan hidup orang banyak, dan merupakan bagian dari Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, dapat dinikmati secara cuma-cuma oleh semua lapisan rakyat.
Sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini diadopsi Indonesia merupakan sumber masalah bagi rakyat. Karena sistem ini dengan asasnya yang memberikan kebebasan penuh kepada individu atau swasta untuk turut melakukan kegiatan ekonomi demi memperoleh keuntungan. Sehingga apapun bentuknya, walaupun berhubungan dengan kebutuhan rakyat, para kapital bebas untuk membuatnya menjadi milik swasta atau individu dan mengambil keuntungan di dalamnya.
Atau dengan kata lain, semua kepemilikan negara dan kepemilkan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan cara privatisasi. Inilah yang menjadi sebab utama mengapa pengaturan SDA dan energi semua mengarah pada privatisasi yang berakibat pada penguasaan SDA dan energi oleh swasta dalam pengelolaan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Negara kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam milik rakyat. Padahal SDA tidak boleh dimiliki oleh segelintir orang atau swasta bahkan asing. Negara wajib mengelolanya demi kepentingan rakyat.
Liberalisasi pengelolaan SDA pasti tidak akan menguntungkan negara apalagi rakyat, yang menikmati sebagian besarnya adalah perusahaan/swasta. Negara hanya mendapatkan sedikit saja dari keuntungan yang diperoleh dari para kapitalis atau pemilik modal besar sebagai pengelolanya. Sehingga para kapitalis yang akan mendapatkan kesejahteraan lebih, sedangkan rakyat akan terus berada dalam kehidupan ekonomi sulit. Sebagai SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak, Islam melarang penguasaan air dan sumbernya oleh swasta. Ini sesuai dengan perkataan Rasulullah yang di riwayatkan oleh Abu Dawud bahwa :
Sangat disayangkan ketika ada wacana untuk menaikkan tarif PDAM di tengah-tengah kebutuhan hidup rakyat yang serba sulit dan serba naik. Mahalnya kebutuhan pokok, tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, kenaikan Tarif Dasar Listrik, dan harga Bahan Bakar Minyak yang juga sudah duluan naik, kini kebutuhan vital pun yaitu air juga ikut naik, tentu saja semakin memperparah kondisi ekonomi rakyat yang sudah susah. Rakyat harus berjuang keras untuk tetap bertahan hidup dan bangkit dari keterpurukan akibat pandemi. Belum lagi sempat beranjak, kenaikan tarif PDAM membuat ekonomi rakyat tak juga dapat terangkat.
Maka bisa saja terjadi jika ada sebagian masyarakat terutama menengah ke bawah yang tidak mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya hanya karena tidak mampu membayar tagihan air yang mereka rasakan mahal. Karena semestinya air sebagai kebutuhan hidup orang banyak, dan merupakan bagian dari Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup masyarakat, dapat dinikmati secara cuma-cuma oleh semua lapisan rakyat.
Sistem ekonomi kapitalisme yang saat ini diadopsi Indonesia merupakan sumber masalah bagi rakyat. Karena sistem ini dengan asasnya yang memberikan kebebasan penuh kepada individu atau swasta untuk turut melakukan kegiatan ekonomi demi memperoleh keuntungan. Sehingga apapun bentuknya, walaupun berhubungan dengan kebutuhan rakyat, para kapital bebas untuk membuatnya menjadi milik swasta atau individu dan mengambil keuntungan di dalamnya.
Atau dengan kata lain, semua kepemilikan negara dan kepemilkan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan cara privatisasi. Inilah yang menjadi sebab utama mengapa pengaturan SDA dan energi semua mengarah pada privatisasi yang berakibat pada penguasaan SDA dan energi oleh swasta dalam pengelolaan kebutuhan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Negara kehilangan kedaulatan atas sumber daya alam milik rakyat. Padahal SDA tidak boleh dimiliki oleh segelintir orang atau swasta bahkan asing. Negara wajib mengelolanya demi kepentingan rakyat.
Liberalisasi pengelolaan SDA pasti tidak akan menguntungkan negara apalagi rakyat, yang menikmati sebagian besarnya adalah perusahaan/swasta. Negara hanya mendapatkan sedikit saja dari keuntungan yang diperoleh dari para kapitalis atau pemilik modal besar sebagai pengelolanya. Sehingga para kapitalis yang akan mendapatkan kesejahteraan lebih, sedangkan rakyat akan terus berada dalam kehidupan ekonomi sulit. Sebagai SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak, Islam melarang penguasaan air dan sumbernya oleh swasta. Ini sesuai dengan perkataan Rasulullah yang di riwayatkan oleh Abu Dawud bahwa :
" Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan Api".
Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, dalam sistem ekonomi Islam terkategori sebagai barang-barang milik umum. Benda tersebut tampak dalam tiga hal, pertama, yang merupakan fasilitas umum. Kedua, barang tambang yang tidak terbatas. Ketiga, sumber daya alam yang dalam pengelolaannya, negara tidak akan memberikan celah sedikitpun kepada pihak swasta/individu untuk campur tangan.
Islam memasukkan air sebagai barang milik umum yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara (khalifah) demi kemaslahatan rakyat dan didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa pandang bulu. Dalam mengelola kepemilikan umum tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat dengan mendasarkan pada keuntungan semata. Jika memang harus dijual tentu dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan boleh saja negara menjualnya dengan mendapat keuntungan yang wajar jika untuk keperluan produksi komersial. Namun, jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri maka boleh mengambil keuntungan semaksimal mungkin dan hasil penjualannya dikembalikan pada rakyat.
Pengembalian tersebut berupa pembagian air minum, listrik, gas, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis, pembangunan sekolah dan rumah sakit secara gratis, dan pelayanan umum lainnya. Atau dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dan dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk mengelola harta kepemilikan umum.
Begitulah sistem Islam mengelola kepemilikan kekayaan yang terfokus pada kesejahteraan rakyat. Negara ada untuk rakyat. Sehingga setiap potensi yang dibutuhkan rakyat akan dikelola negara dan diberikan kepada rakyat dengan tidak memberatkan. Karena tugas penguasa adalah sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat. Spirit yang hadir di tengah penguasa yang menerapkan sistem Islam tidak lain adalah ketundukannya kepada syariat Islam. Oleh karena itu, negara tidak akan sewenang-wenang menaikkan harga dan melakukan kezaliman kepada rakyatnya. Sebab bukan perkara untung dan rugi, tetapi pertanggungjawaban yang berat kelak di hadapan Allah SWT.
Seluruh barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, dalam sistem ekonomi Islam terkategori sebagai barang-barang milik umum. Benda tersebut tampak dalam tiga hal, pertama, yang merupakan fasilitas umum. Kedua, barang tambang yang tidak terbatas. Ketiga, sumber daya alam yang dalam pengelolaannya, negara tidak akan memberikan celah sedikitpun kepada pihak swasta/individu untuk campur tangan.
Islam memasukkan air sebagai barang milik umum yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara (khalifah) demi kemaslahatan rakyat dan didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa pandang bulu. Dalam mengelola kepemilikan umum tersebut, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat dengan mendasarkan pada keuntungan semata. Jika memang harus dijual tentu dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan boleh saja negara menjualnya dengan mendapat keuntungan yang wajar jika untuk keperluan produksi komersial. Namun, jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri maka boleh mengambil keuntungan semaksimal mungkin dan hasil penjualannya dikembalikan pada rakyat.
Pengembalian tersebut berupa pembagian air minum, listrik, gas, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis, pembangunan sekolah dan rumah sakit secara gratis, dan pelayanan umum lainnya. Atau dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dan dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk mengelola harta kepemilikan umum.
Begitulah sistem Islam mengelola kepemilikan kekayaan yang terfokus pada kesejahteraan rakyat. Negara ada untuk rakyat. Sehingga setiap potensi yang dibutuhkan rakyat akan dikelola negara dan diberikan kepada rakyat dengan tidak memberatkan. Karena tugas penguasa adalah sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat. Spirit yang hadir di tengah penguasa yang menerapkan sistem Islam tidak lain adalah ketundukannya kepada syariat Islam. Oleh karena itu, negara tidak akan sewenang-wenang menaikkan harga dan melakukan kezaliman kepada rakyatnya. Sebab bukan perkara untung dan rugi, tetapi pertanggungjawaban yang berat kelak di hadapan Allah SWT.