Oleh : Hartati.S.A.P
Penegakan hukum merupakan suatu keharusan dalam bernegara. Tanpa penegakan hukum kewibawaan negara menjadi rapuh. Namun siapa sangka dalam proses penegakan hukum seringkali terjadi kongkalikong antara penegak hukum dengan pelaku kejahatan itu sendiri. Apa jadinya jika suatu negara tidak lagi menerapkan profesionalisme penegakan hukum? Lalu bagaimana mendapatkan keadilan jika lembaga penegak hukum tersebut tidak menegakkan profesionalitas, integritas, dan independen dalam penegakan hukum? Di manakah rakyat harus mengadu?
Seperti kasus kecelakaan mahasiswa Universitas Indonesia berinisial HS yang melibatkan purnawirawan polri AKBP Eko Setiabudi Wahono yang tengah ramai disoroti pabrik. Pasalnya HS ditetapkan menjadi tersangka setelah tewas akibat ditabrak oleh purnawirawan tersebut. Dirlantas Polda metro jaya Kombes Latif Usman menjelaskan alasan HS dijadikan tersangka karena kelalaian sendiri bukan karena kelalaian Eko. Penyidikan kasus kecelakaan ini pun dihentikan. Atas penetapan tersangka tersebut pengacara keluarga almarhum HS Gita Paulina menyatakan keputusan polisi cacat hukum, ia menyebut AKBP purnawirawan Eko tidak menolong HS-nya yang meregang nyawa setelah ditabrak dari kasus ini.
Publik kembali menyaksikan drama ketidak-adilan lembaga penegak hukum. Penetapan almarhum HS sebagai tersangka menjadi sensitif karena mahasiswa UI itu telah meninggal dunia. BEM UI pun merasa tindakan kepolisian itu seperti mirip Irjen Ferdi sambo dalam kasus kematian brigadir Joshua. Bagi kami fenomena ini seperti sambo jilid 2, kepolisian semakin beringas dan keji.
Kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan, kata ketua BEM UI Melky sedek Huang dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta pada Rabu 28 Januari 2023. Kasus semacam ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyaknya kasus-kasus yang tidak terekspos oleh media.
Kasus ini pun menjadikan profesionalisme penegak hukum dipertanyakan padahal profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam profesi apapun apalagi pada institusi penegak hukum. Sayangnya, profesionalisme tidak berlaku dalam sistem sekularisme demokrasi. Sumber hukum ini terpancar dari aqidah batil sekularisme yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya diletakkan dalam masjid-masjid dan tempat ibadah ritual semata, bukan untuk mengatur kehidupan manusia. Akhirnya aturan yang berlaku dalam sistem kehidupan adalah aturan buatan manusia dan saat ini aturan seperti itu legal karena sistem demokrasi memang memberi ruang kepada manusia untuk membuat hukum sendiri kemudian disepakati bersama untuk diterapkan. Akibatnya, publik sering mendapati fenomena hukum dapat diperjual-belikan karena manusia akan mengatur dan membuat hukum sesuai kepentingan masing-masing. Hukum sekularisme demokrasi bagaikan hukum pisau dapur. Tajam ke masyarakat bawah namun tumpul kepada orang-orang yang memiliki kepentingan, kedudukan maupun jabatan. Maka, tidak heran jika keadilan menjadi barang mewah saat ini.
Sungguh ini berbeda dengan sistem Islam yang dikenal dengan khilafah. Negara yang menerapkan sistem ini sangat menjunjung tinggi supremasi hukum juga kepedulian. Dan ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjaga wibawa penegak hukum.
Aisyah RA meriwayatkan, ada seorang perempuan bangsawan dari Bani Makhzum yang kedapatan mencuri. Kemudian, para sahabat menunjuk Usamah RA melaporkan hal ini kepada Rasulullah dan meminta keringanan hukuman dari beliau. Mendengar hal tersebut, Rasul SAW balik bertanya, ''Apakah kalian akan mengampuni apa yang seharusnya menjadi ketentuan Allah?''
Kemudian, Rasulullah bangkit dan menegaskan, ''Wahai manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu binasa disebabkan jika orang terhormat yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah yang mencuri, mereka menetapkan hukum atasnya. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka aku akan potong tangannya'' (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini memberi pelajaran yang sangat penting bagi kita. Bahwa hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Para penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menjalankan amanat ini. Bahkan, Rasulullah sampai menegaskan andaikata yang melanggar hukum adalah putrinya sendiri, Fatimah, hal itu tidak menghalangi Beliau untuk memberlakukan hukum atasnya. Inilah gambaran sebuah komitmen yang kuat dari seorang pemimpin untuk menegakkan good governance.
Dari Imam Al Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat dari Raffi bin hudai yang berkata serombongan orang ansor pergi ke khaibar sesampainya di sana mereka berpisah-pisah lalu mereka mendapati salah satu anggota rombongan terbunuh, mereka berkata kepada orang yang mereka jumpai yaitu orang-orang Yahudi, sungguh kalian telah membunuh sahabat kami, orang-orang Yahudi khaibar itu menjawab kami tidak mengetahui pembunuhnya, orang-orang Anshar itu pun menghadap kepada nabi shallallahu alaihi wasallam seraya berkata ya Rasulullah kami telah pergi ke khaibar dan kami mendapati salah satu anggota rombongan kami terbunuh nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda alkubro alkubro, sungguh sangat besar kemudian nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada mereka agar mereka menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan orang yang membunuh anggota rombongannya mereka berkata kami tidak mempunyai bukti. Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda mereka orang-orang Yahudi khaibar harus bersumpah . Orang-orang ansor itu berkata kami tidak ridho dan dengan sumpahnya orang Yahudi Rasul shallallahu alaihi wasallam menolak untuk membatalkan darahnya lalu Rasul shallallahu alaihi wasallam membayarkan diyat 100 ekor unta sedekah (HR. Al-bukhari).
Saat itu Khoibar menjadi bagian dari negara Islam, penduduknya didominasi orang Yahudi ketika orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah tidak menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan bukti dari kaum muslim bahkan beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki kedudukan setara di mata hukum tanpa memandang perbedaan agama ras dan suku.
Keadilan akan terwujud ketika kedaulatan hukum berada di tangan syariat Allah.
Ibnu Taimiyah dalam kitab asiyasah asy'iyah halaman 15 menyebutkan keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh Alkitab dan as-sunnah baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum yang lainnya. Merujuk pada kasus tragis almarhum HS jika dihukum dengan sanksi Islam sangat mudah mendapatkan keadilan. Dalam khilafah kasus tersebut bisa terkategori pembunuhan tersalah. Sebab pembunuhan yang terjadi bukan dengan disengaja namun dengan Halah atau terbunuhnya seseorang. Kasus seperti ini akan ditangani Qodhi muhtasib. Sebuah peradilan yang menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat (jamaah). Qodhi muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Namun ketiadaan penuntut dikecualikan pada kasus hudud seperti perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamr , sodomi dan jinayat (pembunuhan, melukai anggota tubuh badan orang). Maka setelah Qodhi mutasib mendapatkan laporan peristiwa segera Qodhi tersebut datang ke tempat kejadian mengumpulkan para saksi dan barang bukti.
Islam tidak mengenal peradilan banding, peninjauan kembali dan sebagainya. Karena keputusan pengadilan ini bersifat mengikat tidak bisa dibatalkan oleh siapapun . Konsep ini akan menutup celah kongkalikong tarik-menarik sanksi jika seandainya terbukti terjadi pembunuhan tersalah. Sehingga pelaku akan dikenakan sanksi jinayat berupa membayar diyat mukhaffafah yakni denda ringan yang diambilkan dari harta keluarga pembunuh dan dapat dibayarkan secara bertahap selama 3 tahun kepada keluarga korban, setiap tahunnya sepertiga.
Selain itu, pembunuhan juga harus melaksanakan kaffarat sesuai dengan firman Allah ta'ala dalam (Q.S An-nisa ayat : 92)
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Penerapan hukum dalam khilafah telah terbukti membawa keadilan selama 1300 Tahun lamanya. Baik korban dan pelaku sama-sama mendapat keadilan. Sanksi dalam khilafah pun tidak mengenal hak istimewa golongan semua warga sama dimata hukum Islam sehingga tidak ada kesenjangan sosial hukum atau kecemburuan antar masyarakat.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Tags
Opini