Oleh: Leni Andriyanti, S.Pi
Pemerhati Urusan Ummat
Kondisi Kemiskinan di Purbalingga
Permasalahan stunting merupakan masalah serius dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Tantangan ini harus diatasi dengan baik agar generasi masa depan Indonesia bisa menjadi generasi yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas. Masalah stunting memang merupakan salah satu isu penting dalam dunia kesehatan anak yang perlu mendapat perhatian besar semua pihak, terutama negara.
Untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga menargetkan penurunan angka stunting di bawah 14 persen di tahun 2024. Dari data Dinsosdaldukkbp3a angka stunting di Purbalingga sebesar 13,79 persen yakni masih di bawah rata-rata nasional dan provinsi Jawa Tengah. Hal itu disampaikan oleh Wakil Bupati Purbalingga, Sudono saat membuka audit kasus stunting tingkat Kabupaten Purbalingga, di Aula Wisma Tien Catering, Rabu (14/13/2022).
Apa itu stunting?
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak akibat dari kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama menyebabkan tinggi badan anak lebih pendek dari standar tinggi badan anak seusianya. Stunting merupakan permasalahan yang dapat diakibatkan salah satunya oleh faktor kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan stunting pada balita. Ada pula yang mengatakan Stunting sebagai sebuah kondisi abnormal, dimana anak mengalami gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis dan bisa menimbulkan gejala ikutan yang serius. Hal ini ditandai dengan kondisi badan yang kurang sehat, kecerdasan intelektual yang tidak berkembang, ataupun semangat belajar menurun.
Fakta stunting di Indonesia
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Status Gizi Balita pada 2019, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,67 persen. Presiden RI Joko Widodo mencanangkan target penurunan stunting menjadi 14 persen di tahun 2024. Tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 9.54%. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 6-7% pada tahun 2024.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, kunci untuk menurunkan stunting adalah penanganan kemiskinan. Menurutnya, kemiskinan merupakan salah satu penyebab ibu dan anak tak memeroleh gizi yang cukup. Beliau mengatakan bahwa Memang tidak semua orang miskin anaknya stunting. Tapi sebagian besar stunting itu diakibatkan karena kemiskinan. Dan karena itu kemiskinan itu yang harus ditangani.
Dalam penelitian Kustanto (2021) kemiskinan secara langsung mempengaruhi prevalensi stunting dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang sebesar 0,06%. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kausalitas langsung dengan prevalensi stunting dan kemiskinan sebesar 0,57%. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara harus dibarengi dengan pembangunan sosial ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kemiskinan dapat menyebabkan terjadinya berbagai hal dalam beragam faktor, seperti dalam faktor akses kesehatan, faktor sanitasi dan air bersih, serta faktor kerawanan pangan (Wardani, 2020).
Keterbatasan daya beli pada kondisi sosial ekonomi rendah menyebabkan terbatasnya akses pangan. Hal tersebut dapat berdampak pada ketahanan pangan dalam rumah tangga. Rumah tangga dapat disebut tahan pangan apabila memiliki sejumlah makanan yang cukup, aman, dan bergizi dalam kurun waktu tertentu untuk seluruh anggota keluarga.
Upaya yang telah di lakukan pemerintah saat ini
Upaya yang telah dan sedang berlangsung dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan yakni menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin melalui program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu dalam peningkatan ketahanan pangan dan gizi juga dilakukan melalui Program Ketahanan Pangan dan Gizi. Terdapat empat pilar yang menopang ketahanan pangan; yang pertama dari aspek ketersediaan pangan (food availability), kedua dari aspek stabilitas ketersediaan/ pasokan (stability of supplies), ketiga dari aspek konsumsi (food utilization).
Dari uraian diatas upaya yang sudah di lakukan pemerintah sejak tahun ke tahun belum mengalami perubahan yang terlihat tuntas. Hal ini diKarenakan persoalan mendasarnya adalah adanya masalah kemiskinan massal itu terjadi secara sistemis. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan secara sistemis pula.
Stunting dalam Perspektif Islam dengan mengentasan Kemiskinan
Secara konsep keluarga, Islam memandang bahwa membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warohmah adalah tujuan adanya sebuah pernikahan. Setiap orang dianjurkan untuk segera menikah jika mereka mampu. Kondisi mampu ini tercermin pada setiap individu, khususnya laki-laki sebagai kepala keluarga sekaligus qawwam di rumah tangganya untuk didorong agar bisa menafkahi seluruh anggota keluarganya. Dorongan keimanan adalah hal yang menjadikan seorang suami untuk giat bekerja, sehingga bisa memberikan nafkah. Karena hukum memberikan nafkah bagi suami adalah wajib. Sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dalam Al-Qur’an surat An-nisa ayat 34 yang artinya "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An-Nisaa: 34)
Namun, jika dia sudah berusaha, sementara ada kondisi yang memaksa dia tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi nafkah kepada keluarganya, misal seorang suami terkena PHK secara tiba-tiba, maka seorang istri diperbolehkan untuk memberikan hartanya sehingga suaminya terbantu dan kebutuhan keluarganya tercukupi. Ini dianggap sebagai pahala sedekah bagi seorang istri. Ataupun bisa saja seorang istri ikut bekerja membantu suaminya, tentu atas izin sang suami. Karena prinsipnya relasi suami istri adalah hubungan persahabatan, bukan hubungan atasan dan bawahan atau tuan dan pekerjanya, melainkan adalah sepasang sahabat, sehingga ta’awun (tolong menolong) itu hal yang biasa. Bahkan seorang suami pun diperbolehkan berutang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Sebagaimana firman Allah Swt: “Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS Al-Baqarah: 280)
Termasuk pula hal yang diperbolehkan untuk seorang istri adalah meminta cerai kepada suaminya, jika seorang suami tidak ada keinginan untuk berubah dan tidak juga memberikan nafkah. Tapi lagi-lagi ini adalah pilihan. Memilih untuk bersabar pun itu akan menjadi pahala yang besar bagi seorang istri.
Selain daripada itu semua, kewajiban mencukupi nafkah bagi seorang suami jika ia tidak mampu, maka anggota keluarga/kerabat terdekatnya diwajibkan untuk membantu. Lantas, jika kerabat pun tidak mampu, maka akan diambil alih negara. Karena pemenuhan terhadap kebutuhan pokok itu pada dasarnya kewajiban negara kepada warganya. Kebutuhan dasar, baik sandang, papan, pangan, begitu pun juga pendidikan dan kesehatan kesemuanya wajib dipenuhi oleh negara.
Negara harus bertanggung jawab kepada rakyat nya
Negara melalui Baitul Maal (kas negara) akan mendistribusikan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang miskin secara cepat dan tepat, sehingga dipastikan tidak ada yang sampai kekurangan bahkan kelaparan, sehingga kondisi stunting pada anak-anak muslim akan bisa dicegah secara massif. Bahkan jika kas negara kosong pun, maka akan ditanggung oleh kaum muslim secara kolektif. Selain itu, keberadaan kepala negara dia akan memaksimalkan peranannya sebagai raa’in (pengurus umat), dia akan memaksimalkan berbagai sumber-sumber pemasukan negara, baik melalui fa’i, khumus, ghanimah, jizyah, ushr, ataupun rikaz. Dalam hal pengelolaan kekayan pun sama, kepemilikan umum dan kepemilikan negara benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat semata. Semua barang-barang tambang pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh negara, tidak bergantung kepada asing apalagi utang luar negeri.
Sepanjang peradaban Islam tegak selama kurang lebih 13 abad lamanya, maka pengentasan kemiskinan bisa dilakukan. Dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin sepeninggal Nabi, hingga Khalifah setelahnya. Bahkan di zaman Harun Al-Rasyid, untuk membagikan zakat saja susah karena saking masyarakatnya sudah merasa berkecukupan. Bahkan Tamim Ansyari dengan judul bukunya Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia versi Islam, menuturkan secara gamblang bagaimana lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin.
Seorang pemimpin dia tidak akan memperkaya diri sendiri manakala melihat kondisi rakyatnya masih banyak yang kesusahan bahkan kekurangan. Mau jadi apa masa depan bangsa ini jika masalah stunting saja tidak bisa diselesaikan sedari awal? Contohlah bagaimana sosok Umar bin Khattab yang rela keliling setiap malam dan memanggul gandum untuk dibagikan kepada warganya yang miskin. TIdak seperti sekarang, semua bahan pokok naik hampir tiap hari, utang terus membumbung tinggi, bahkan bayar bunganya saja tidak mampu, sementara banyak alokasi pembelanjaan negara yang tidak tepat. Para pejabat akan terus mendapat fasilitas mewah sementara orang miskin banyak yang sekarat.
Semoga umat Islam saat ini pun sadar bahwa solusi masalah stunting membutuhkan upaya terstruktur/sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Stunting tidak dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi karena lebih kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang (miskin). Maka, wajar kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) itu sudah pasti akan terus ada selama permasalahan miskin ini tidak diatasi. Tentu semua ini hanya akan bisa kita wujudkan dan diatasi secara tuntas manakala Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan.
Wallohu’alam bi ash-showwab
Tags
Opini