Peran Negara dalam Keamanan Pangan dan Kesehatan Anak



Oleh: Tri S, S.Si

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebelumnya merilis data yang menunjukkan bahwa prevalensi anak penderita diabetes meningkat 70 kali lipat pada Januari 2023 dibanding 2010. Selain itu, Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron juga mengatakan pasien anak yang menderita diabetes meningkat sekitar 1.000 kasus pada 2022 dibandingkan 2018. Menurut Diah, data itu menggambarkan situasi “yang sangat mengkhawatirkan” bahwa anak-anak “telah mengadopsi pola hidup tidak sehat”, salah satunya akibat konsumsi makanan berkandungan gula tinggi. Makanan dan minuman manis begitu mudah dijangkau, sementara kebijakan pemerintah sejauh ini dianggap "belum cukup melindungi", dan lebih banyak menggantungkan pembatasan konsumsi gula pada keputusan masyarakat sendiri berdasarkan informasi kandungan gula yang tertera pada label makanan dan minuman (bbc.com, 6/2/2023).


Menurut WHO, diabetes menempati urutan ketiga sebagai penyakit paling mematikan di Indonesia. Pada 2021, International Diabetes Federation mengkategorikan Indonesia masuk lima besar negara dengan kasus diabetes tertinggi di dunia. Diperkirakan posisi ini tidak berubah pada tahun 2045 yaitu mencapai 16,7 juta jiwa penderita diabetes.
Mudahnya akses untuk memperoleh makanan atau minuman yang manis dituding salah satu penyebabnya. Banyak aneka jajanan dapat dibeli anak yang belum memiliki kemampuan memilih. Pilihan berdasarkan pertimbangan rasa, tampilan menarik dan murah. 


Padahal, berdasarkan survei Badan POM tahun 2007,45% jajanan anak berbahaya karena mengandung pewarna tekstil, fruktosa, atau gula buatan. Zat tersebut dapat menimbulkan penyakit serius tidak hanya diabetes, tetapi juga kanker, gangguan hati, ginjal atau radang pembuluh darah. Diabetes pada anak sangat mengkhawatirkan karena diabetes merupakan penyakit kronis yang berdampak jangka panjang serta bisa menimbulkan komplikasi penyakit lainnya seperti ginjal dan jantung. Biaya pengobatan diabetes oleh negara pun cukup besar yaitu sebesar Rp20 triliun. Angkanya diperkirakan akan naik hingga 33% pada 2045.


Gula dibutuhkan tubuh dan otak agar dapat bergerak dan melakukan proses berpikir. Saat dikonsumsi, gula menimbulkan rasa menyenangkan karenanya membuat penikmatnya terus dan terus memintanya. Jika dikonsumsi berlebihan akan memacu kerja insulin yang menimbulkan resistensi insulin. Bisa dibayangkan penyuka gula yang terkandung dalam roti, kue, cemilan, sirup, dan lain-lain dapat mengalami tingkat adiksi yang parah. Dengan keterbatasan modal, kemiskinan, dan minimnya pengetahuan, umumnya para pedagang kecil menjual makanan minuman yang tidak memenuhi standar kesehatan misal dengan kandungan gula tinggi agar disukai pembeli. Rasa manisnya bisa dari pemanis buatan.


Meski sudah ada sanksi tindakan hukum bagi yang menjual makanan minuman yang berbahaya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar, tetapi tidak efektif. Minimnya pengawasan dan literasi kesehatan dari masyarakat yang rendah menjadi faktor pendukung lainnya. Negara juga membiarkan perusahaan besar menciptakan gaya hidup tidak sehat. Ada 268 gerai Mc D*na*d dan 727 K*nt*cky Fried Chicken tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, kedua waralaba ini menjual junk food atau makanan sampah yang tidak baik untuk kesehatan.


Sebagai negara agraris di mana penduduk yang bekerja di sektor pertanian paling banyak serta memiliki lahan subur, seharusnya memungkinkan Indonesia berdaulat pangan. Namun, realitanya justru berbanding terbalik. Tahun 2021, menurut Global Hunger Index (GHI), Indeks Kelaparan Indonesia menempati posisi tinggi di kawasan Asia Tenggara. Lalu, fakta peningkatan penderita diabetes pada anak makin menegaskan bahwa negara sudah gagal dalam memenuhi kebutuhan pangan dan menjaga kesehatan rakyatnya. Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan [1] sehat badannya,[2] aman pada keluarganya, dia [3]memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.” (HR. Ibnu Majah)


Hadis ini mengisyaratkan keamanan, kesehatan, dan pangan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Karena itulah, kedaulatan pangan merupakan salah satu pilar yang harus dibangun negara. Dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, ada dua standarisasi dalam Islam, yaitu halal dan thayyib. Sebagaimana Allah perintahkan dalam surah Al-Baqoroh ayat 168. Halal berarti terbebas dari segala dzat yang Allah haramkan seperti babi atau bangkai. Termasuk halal dalam
cara memperolehnya. Thayyib artinya baik bagi tubuh dan kesehatan manusia. Seorang Muslim tidak boleh sekadar makan, tapi harus memperhatikan kandungan nutrisi dari apa yang dikonsumsinya.


Dalam rangka menjamin pemenuhan pangan yang berkualitas, negara melakukan berbagai kebijakan:
Pertama, pangan berkaitan dengan lahan. Islam melarang penguasaan lahan oleh individu atau korporasi. Kepemilikan tanah tidak boleh dipisahkan dari produktivitas. Lahan pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun akan diambil alih oleh negara dan diberikan kepada yang mampu mengelolanya. Dengan demikian, seseorang yang memiliki lahan pertanian berusaha agar tanahnya dapat menghasilkan. Negara membantu memberikan sarana prasarana untuk mengembangkan lahan produktif seperti halnya bantuan pupuk, bibit atau teknologi irigasi.
Kedua, politik pertanian dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi berarti perluasan lahan pertanian. Intensifikasi dalam bentuk perbaikan tehnik penanaman misalnya perbaikan kualitas benih atau pengendalian hama penyakit tanaman. Negara memiliki hak memproteksi tanah demi kepentingan masyarakat luas seperti melarang alih fungsi lahan yang subur menjadi lokasi pemukiman atau perindustrian.


Ketiga, menjamin distribusi agar pangan dapat diberikan secara merata ke seluruh wilayah. Jika suatu wilayah kekurangan pangan, negara akan meminta daerah lain untuk membantu sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ketika Madinah dalam keadaan paceklik.
Keempat, negara memberikan hukuman bagi para penimbun pangan dengan tujuan ingin memperoleh keuntungan dan merugikan masyarakat. Sesuai sabda Rasulullah Saw:
”Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.”
Bagi pelaku akan dijatuhi sanksi ta’zir yaitu hukuman yang ditentukan oleh pemimpin negara. Barang yang ditimbun dipaksa untuk dijual dengan harga pasar.


Kelima, negara memberikan kesempatan individu untuk membuka usaha atau industri pangan. Namun, makanan minuman yang diproduksi tidak boleh membahayakan kesehatan. Negara tidak boleh lalai dan membiarkan beredarnya makanan minuman berbahaya yang berisiko kematian. Tanggung jawab pengawasan diberikan pada qadhi hisbah yang berkeliling di pasar atau pusat penjualan makanan lainnya.
Keenam, setiap keluarga didorong menerapkan gaya hidup sehat. Mengenalkan sejak dini makanan minuman bernutrisi kepada anak-anaknya. Melalui dukungan negara dalam penyediaan bahan pangan dengan harga terjangkau, setiap rumah tangga dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.


Demikianlah mekanisme Islam dalam memberikan jaminan dan perlindungan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan kesehatan rakyatnya. Islam memandang setiap manusia harus dijaga dari segala bentuk yang dapat mengancam termasuk kesehatan. Wallahu alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak