Penculikan Anak Kembali Marak, Di Mana Rasa Aman?



Oleh : Salis F. Rohmah


Isu penculikan anak kembali masif terjadi di berbagai daerah. Anak korban penculikan bisa jadi dipaksa menjadi modal keuntungan ekonomi. Korban dipaksa untuk mengemis bahkan diambil paksa organ dalamnya. 

Kekhawatiran orang tua pun semakin bertambah. Padahal di luar sana sudah banyak fakta yang membuat orang tua enggan melepas anak jauh darinya karena khawatir. Seperti fenomena pergaulan bebas yang mulai dinormalisasi, elgibiti yang semakin liar sudah membuat ketar ketir. 

Beberapa daerah sempat menyatakan kondisi darurat. Sejumlah pemda seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sempat mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir (tirto.id). Namun alih-alih menangani, polisi di berbagai daerah berdalih jika isu penculikan anak adalah hoaks. 

Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab maraknya penculikan anak. Sudah menjadi rumus umum jika tngkat ekonomi dan kesejahteraan yang lemah dalam masyarakat maka akan meningkatkan krimininalitas. Oknum bersliweran menggunakan cara jahat untuk mendapatkan uang. Namun jika oknum ini menjamur, kita perlu mempertanyakan sudah amankah lingkungan kita? Sudahkan efisien aturan negeri ini dalam menjamin keamanan rakyatnya?

Memang faktor pengawasan orang tua juga perlu ditingkatkan. Namun sejatinya keamanan adalah kebutuhan bersama dalam bermasyarakat. Keamanan adalah kebutuhan komunal yang wajib diberikan oleh negara. Jaminan keamanan oleh negara harusnya lebih efisien mengurangi bahkan membabat habis kasuk kriminalitas yang musiman seperti ini. 

Alih-alih terwujud rasa aman, sepertinya keamanan rakyat belum menjadi pioritas dalam negeri ini. Justru keamanan dikapitalisasi. Tidak semua rakyat mendapatkan rasa aman. Fenomena satpam, body guard atau tim keamanan pribadi adalah bukti bahwa keamanan hanya di miliki oleh rakyat yang berduit. Lalu, di mana polisi yang ditugaskan oleh negara untuk memberi rasa aman dalam negeri?

Beginilah potret negara sekuler kapitalis yang tidak menempatkan dirinya sebagai pelayan rakyat. Rakyat dipaksa untuk bertahan sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan kebutuhan komunal yang harusnya dihadirkan oleh negara seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan semua dikapitalisasi habis-habisan hingga banyak dari rakyat yang tak mendapatkan haknya. Negara tak pernah hadir di sisi rakyat. Seolah-olah hidup ini bagaikan kehidupan rimba yang tak punya aturan kehidupan. Hanya yang kuat alias yang berduit saja yang dapat bertahan. Apakah untuk ini manusia diciptakan?

Berbeda jika aturan Islam yang diterapkan dalam kehidupan. Di dalam Islam, Rasulullah menegaskan bahwa pemimpin adalah ra’in alias pengembala. Pemimpin dan negara harusnya hadir sebagai pelayan rakyat. Kebutuhan komunal seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan wajib diwujudkan oleh negara serta haram atasnya kapitalisasi di sektor tersebut. Inilah beda paradigma kapitalis dan Islam. Bahkan paham sekuler kapitalis tidak pernah memperbolehkan Islam mengatur kehidupan rakyat.

Padahal Islam adalah seperangkat aturan lengkap yang mengatur hubungan individu dengan Tuhannya, hubungan individu dengan dirinya sendiri, serta –yang banyak dilupakan- mengatur hubungan individu dengan yang lain dalam bermasyarakat. Rasulullah sendiri yang memberikan tauladan untuk menerapkan Islam sepaket secara kaffah. Bahkan dalam hal memimpin negara, mengatur rakyatnya Rasul tak pernah lepas dari syariat Islam. Prinsip Islam yang datangnya dari Dzat Pencipta Manusia tak pernah ditinggalkan oleh Rasul. Begitulah kunci keamanan dan keadilan bisa tegak di muka bumi. Sehingga fungsi manusia sebagai khalifah pun pasti dapat terwujud dan hadir menjadikan rahmat bagai seluruh alam.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak