Nasib Anak dalam Jerat Sekulerisme




Oleh : Andini


Seorang siswi Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban pemerkosaan oleh tiga anak Sekolah Dasar (SD) yang merupakan teman sepermainan sekaligus tetangganya. Korban mendapat perlakuan tak senonoh secara bergiliran. Mirisnya lagi, perbuatan tersebut telah diterima korban sebanyak 4 kali di sepanjang tahun 2022 oleh salah satu pelaku.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) ikut menyesalkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban. KemenPPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto. KemenPPPA berkomitmen akan mengawal dan memperhatikan pemenuhan hak-hak korban.

“Kami turut prihatin dan sangat menyesalkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tidak hanya korban, tetapi ketiga pelaku juga masih berusia anak, yaitu 8 tahun,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, di Jakarta. (kemenpppa.go.id, 20/01/2023)

Semakin belianya usia pelaku pemerkosaan menjadi pukulan keras untuk kita. Bagaimana mungkin, di usia anak-anak yang seharusnya asyik bermain dan bereksplorasi, ada anak-anak yang justru menjadi pelaku kejahatan seksual, bahkan hingga mengajak teman-temannya.

Tindak pidana seperti pemerkosaan tentu sudah tergolong kejahatan berat, bukan sekedar kenakalan anak. Kenakalan anak adalah pelanggaran yang masih bisa ditoleransi oleh masyarakat. Apakah kejahatan berat yang pelakunya masih anak-anak ini layak mendapatkan perlakuan khusus seperti mediasi atau penyelesaian secara kekeluargaan? Tentu tidak.

Kerusakan anak-anak hari ini bukan semata-mata karena kurangnya peran orang tua dalam mendidik. Kerusakan yang semakin hari kian memperparah karakter generasi ini tidak terlepas dari sistem yang diterapkan. Sekulerisme yang diadopsi di tengah-tengah umat telah membentuk generasi yang haus sekali akan kenikmatan duniawi.

Sedihnya hidup di tengah-tengah sekulerisme, di satu sisi ada keinginan bisa memberantas kejahatan seksual, tapi di sisi lain atas nama hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi, tayangan-tayangan vulgar yang memicu bangkitnya rangsangan seksual muncul dimana-mana dan sangat mudah diakses, bahkan oleh anak usia dini.

Lantas bagaimana anak-anak kita bisa mendapat lingkungan yang aman untuk mereka tumbuh, jika sistem yang ada saat ini mandul dalam menghasilkan hukum yang adil dan bisa memberikan keamanan serta mampu mencegah terjadinya kejahatan? 

Bagaimana mungkin kita mengharapkan anak-anak tumbuh menjadi generasi yang beradab dan bertakwa, sementara sistem yang ada telah memisahkan aturan agama dari kehidupan, dan membolehkan berbagai pemahaman barat merasuki akal mereka?

Tentu mustahil jika kita berharap pada sistem yang hukum-hukumnya merupakan aturan buatan manusia yang lemah dan selalu condong kepada hawa nafsunya. Mempertahankan hukum buatan akal manusia hanya akan menimbulkan kerusakan yang tidak berujung.

Hanya sistem Islam lah yang mampu menjaga kehormatan dan keamanan anak-anak, termasuk perempuan dan seluruh umat manusia. 

Dalam Islam, anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal seperti mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), membunuh tanpa sengaja (misal kecelakaan), dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hudud, jinayah , mukhalafat, maupun takzir. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf.

Mukalaf harus memenuhi tiga syarat; yaitu akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).

Rasulullah saw. bersabda :

”Telah diangkat pena bagi tiga golongan, yaitu dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia balig, dan dari orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud)

Yang dimaksud “diangkat pena” dalam hadits ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. (Taqiyuddin Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/36; Muqaddimah Ad Dustur, 1/188).

Hanya saja perlu kita pahami, anak di bawah umur dalam pandangan syariat adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun, jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig (‘alamat al bulugh) yang ditetapkan syariat, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108; Abdul Qadir ‘Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, 1/602).

Tetapi, jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, maka wali itu yang dijatuhi sanksi. Jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).

Oleh karena itu, memberikan keamanan pada anak, dan memberantas kejahatan anak, hanya bisa diwujudkan di bawah syariat Islam. Allahu a'lam bisshawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak