Oleh: Mariyam Sundari (Praktisi Komunikasi Penyiaran)
Setelah rapat antara Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Kementerian Agama (Kemenag) yang berjalan cukup panjang, sebelum akhirnya diputuskan Bipih terkait biaya yang harus dibayar langsung oleh jemaah haji rata-rata berkisar Rp 49,8 juta. Biaya tersebut naik, dibanding tahun lalu yaitu berkisar Rp 39,8 juta. Kenaikan tarif ONH ini, jelas menunjukkan adanya kapitalisasi ibadah.
Hal ini, tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme di negeri saat ini. Yang mengubah fungsi negara, yang seharusnya mengurus segala kebutuhan yang diperlukan rakyat, kini menjadikannya berbisnis dengan rakyat. Dimana, rakyat kini dipandang sebagai objek untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan berbagai program yang dicanangkan termasuk hal mengurusi ibadah haji bagi umat muslim.
Seperti diketahui, pemerintah tidak hanya mengelola penerimaan ongkos haji yang dibayar masyarakat saat mendaftar haji saja. Namun, pemerintah juga mengembangkan dananya melalui investasi yang berorientasi bisnis. Hal ini, dilakukan hanya untuk kemanfaatan pemilik modal (kapital) semata. Namun, tidak mempedulikan apakah itu akan merugikan dan memberatkan pihak lain ataupun tidak.
Seperti inilah aturan dalam sistem kapitalisme. Aturannya dibuat oleh manusia itu sendiri, yang dengan sesuka hati membuat aturan, dipandang menyusahkan masyarakat muslim yang dengan itu, masyarakat justru dipalak oleh negara termasuk juga dalam urusan ibadah.
Aturan kapitalisme tentu berbeda dengan pengaturan dalam Islam yang menjadikan penguasa sebagai _raa’in_ (pengurus rakyat). Islam senantiasa akan memudahkan urusan rakyat apalagi dalam penunaian ibadah. Islam punya prinsip dasar dalam aturan termasuk masalah pengaturan haji.
Eksekusinya cepat dilakukan, sederhana dalam sistem, dan tentu akan ditangani oleh orang yang profesional. Oleh karena itu, dalam negara Islam akan membentuk departemen yang khusus. Yang mengurusi urusan haji dan umrah dari daerah-daerah sampai ke pusat yang memakai konsep administrasi terdesentralisasi.
Jika memang harus ditetapkan ongkos naik haji, besar kecilnya akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan para jemaah berdasar jarak wilayah (Makkah – Madinah). Serta akomodasi pulang pergi dari tanah suci.
Dalam mengurus haji dan umrah negara khilafah bukan menjadikannya sebagai bisnis untuk mencari keuntungan. Apalagi memanfaatkan dana jemaah calon haji untuk investasi dan lain-lain. Melainkan, memudahkan dan memenuhi hak-hak umat muslim dalam melaksanakan ibadah dan tidak memberatkan apalagi memalak.
Jadi, perlu diketahui, hanya aturan Islamlah yang jelas untuk diterapkan. Aturan Islam tidak hanya mengatur urusan haji dan umrah. Tetapi juga mengatur semua urusan dalam kehidupan, baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Termasuk masalah keluarga, masyarakat sampai negara.
Jika aturan diterapkan di negeri ini, maka tidak akan ada lagi negara yang memanfaatkan dana ibadah haji untuk meraih keuntungan. Bukan hanya itu, kehidupan dalam masyarakat akan terarah dan sejahtera. Saatnya kembali kepada aturan Allah Swt yaitu aturan yang ada dalam negara Islam (Khilafah). Dan meninggalkan aturan kufur kapitalisme yang memberatkan lagi menyengsarakan. []
Tags
Opini