Oleh Dewi Putri, S.Pd.
Dalam sistem kapitalisme ibadah haji dimanfaatkan untuk mendapatkan asas manfaat semata, padahal didalam islam ini merupakan salah satu syariat islam yang merupakan kewajiban.
Dilansir dari CNNIndonesia (20/01/2023), Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta.
Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Secara akumulatif, komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun.Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR mengatakan
tahun ini pemerintah mengusulkan rata-rata BPIH per jemaah sebesar Rp98.893.909, ini naik sekitar Rp514 ribu dengan komposisi Bipih Rp69.193.733 dan nilai manfaat sebesar Rp29.700.175 juta atau 30 persen.
Ibadah haji adalah fardhu 'ain yang disyariatkan bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat mampu, sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ali Imran ayat 97. Selain ibadah mahdah, haji memiliki makna politis yaitu syiar agama Islam. Makna politis ini bermakna bersatunya kaum Muslim ketika wukuf di Arafah.
Kaum Muslim di seluruh dunia diikat oleh akidah yang sama, kita suci serta kiblat yang sama. Tidak ada perbedaan kelas dan strata, seluruh kaum Muslim berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama yakni bacaan tahmil, takbir, tahlil dan do’a.
Makna syiar agama dilihat dari serangkaian prosesi ibadah haji itu sendiri.
Berkumpulnya kaum Muslim di satu tempat melakukan ibadah yang sama, mengumandangkan seruan yang sama menunjukan kehebatan Islam dalam menyatukan pemeluknya.
Akan tetapi makna ibadah haji dikerdilkan oleh pengusaha kapitalisme sebagai ibadah ritual semata. Penguasa kapitalisme berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya memandang bahwa semakin banyak kuota jamaah haji akan semakin banyak keuntungan yang didapat.
Sangat tampak pelayanan penguasa dalam mengurusi masalah ibadah kaum Muslim hanya berorientasi pada bisnis.
Hal ini berbeda ibadah haji dalam sistem Islam. Penguasa dalam sistem ini memiliki khadimul ummah atau pelayan umat. Setiap kebijakan mereka senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya termasuk perkara ibadah. Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat wajib dan rukun haji, daulah akan memastikan masalah hukum terkait teknis dan administrasi termasuk uslub dan wasilah.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Ajhizah ad-Daulah Khilafah menjelaskan bahwa prinsip dasar Khilafah mengatur masalah manajerial adalah sistemnya sederhana, Su’ah fi al-injaz (ekseskusinya cepat) dan ditangani orang yang professional karena itu sebagai satu negara yang menangani lebih dari 50 negeri kaum muslim, Khilafah akan mengambil kebijakan.
Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus haji dan umrah dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan hinngga kembalinya ke daerah asal.
Dalam melaksanakan tugas ini departemen Haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan esehatan dalam mengurus kesehatan jamaah termasuk departemen hubungan dalam urusan transportasi massal.
Ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa kapitalisme hari ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para Jemaah dengan tanah haram (Makkah - Madinah) serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Daulah akan menyediakan opsi rute baik darat, udara dan laut dengan konsekuensi biaya yang berbeda-beda.
Daulah merupakan satu kesatuan negeri-negeri kaum Muslim sehingga yang berkunjung dari satu wilayah ke wilayah yang lain, hanya perlu menunjukan kartu identitas bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir.
Pengaturan daulah menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji.
Dalam hal ini memperhatikan dua hal yakni:
Pertama kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu.
Di antara bukti nyata daulah dalam mengurusi ibadah haji terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid II. Seorang Khalifah masa Kekhilafahan Utsmaniyyah. Beliau membangun sarana transportasi massal jalur kereta api (Hizaz Railway) dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji.
Khalifah Abbasiyah Harun Ar-Rasyid juga membangun jalur Haji dari Irak hingga Hijaz.
Pada masing-masing titik disediakan pos layanan umum yang menyediakan logistik termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Tidak hanya itu Khalifah Harun ar-Rasyid memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang Ulama dan anak-anak mereka bila beliau naik haji. Jika ia sedang berjihad ia menghajikan 300 orang Ulama dan anak-anak mereka dan semua ini biayanya berasal dari harta pribadi khalifah.
Ini sepenggal fragmen sejarah Khilafah dalam melayani tamu Allah yang tak akan pernah bisa diwujudkan dalam system kapitalisme saat ini.
Wallahu a'lam