Oleh: N. Vera Khairunnisa
Sungguh miris dan menyayat hati membaca berita beberapa waktu yang lalu, dimana seorang siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur, diperkosa tiga anak SD berumur delapan tahun. Para pelaku tidak lain adalah teman sekaligus tetangga korban.
Mengapa bisa seorang anak umur 8 tahun sudah melakukan tindakan pemerkosaan?
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, di antaranya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh seorang kriminolog sekaligus pemerhati anak dan keluarga, Haniva Hasna. Beberapa faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pornografi yang sudah dilihat anak-anak usia dini. Anak-anak tidak lagi tabu melihat konten asusila, mereka justru sudah naik level menjadi pelaku.
Kedua, anak-anak tersebut pernah menjadi korban kekerasan seksual, sehingga mereka mengetahui proses atau sudah menikmati.
Ketiga, faktor yang paling dominan yakni kurangnya kedekatan dengan keluarga. Orangtua tidak berhasil menyampaikan nilai dan norma sehingga anak-anak tidak paham bahwa perilaku mereka adalah sebuah penyimpangan. (liputan6. com, 22/01/23)
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konten pornografi semakin hari semakin mudah diakses? Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap beredarnya konten yang membahayakan tersebut? Kemudian mengapa pula anak-anak kurang dekat dengan keluarga.
Permasalahan seperti ini harus segera diselesaikan, jika tidak mau kejadian serupa terulang. Karena tidak bisa dipungkiri, memang benar bahwa perilaku anak-anak hari ini sudah banyak terpengaruh oleh konten negatif yang bersumber dari gadget.
Kalau kita perhatikan, negara atau penguasa sebagai pihak yang paling wajib bertanggung jawab nampak tidak begitu tegas dan serius dalam hal mengontrol media. Sehingga bertebaranlah beragam konten pornografi. Dengan dalih kebebasan dan ambisi mendapat cuan, masyarakat banyak yang menjalankan bisnis berbau porno.
Masyarakat jauh dari nilai-nilai agama. Mereka tidak memikirkan dampak buruk dari apa yang dilakukan, yang penting bisa memberikan kesenangan dan keuntungan secara materi. Akibatnya, anak-anak menjadi korban.
Para orangtua hari ini pun terlalu sibuk dengan urusan mencari cuan, apakah karena tuntutan ataupun demi mengejar targetan. Mereka lupa ada anak-anak yang harus dijaga dan dibina.
Atau bahkan justru mereka sendiri tidak paham bahwa anak bukan hanya harus dipenuhi kebutuhan materinya saja. Namun mereka membutuhkan kasih sayang dan pendidikan dari orangtuanya.
Inilah akibat dari penerapan sistem bermasyarakat dan bernegara hari ini yang cenderung kapitalis, sekuler dan liberal. Negara tidak berdaya untuk menghentikan berbagai kasus kejahatan, termasuk kejahatan yang dilakukan anak-anak.
Saatnya kita mengambil sistem alternatif kehidupan, yang bisa memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat. Itulah sistem Islam, aturan yang diciptakan oleh Allah SWT, Zat yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Sudah pasti, aturan-Nya merupakan aturan yang akan melahirkan kebaikan untuk manusia.
Islam, sebagai ajaran yang sempurna, memiliki mekanisme yang rinci dan sistematis untuk mencegah serta mengatasi kasus kejahatan, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Seperti apakah mekanismenya?
Pertama, mekanisme pencegahan. Banyak pihak hari ini hanya berfokus pada penyelesaian. Membahas bagaimana sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan, namun abai terhadap akar permasalahan mengapa bisa terjadi banyak kejahatan, bahkan pelakunya masih anak-anak.
Dalam Islam, pencegahan dilakukan dengan memberikan pembinaan terhadap masyarakat, dimulai dari usia dini. Proses pembinaan ini dilakukan oleh semua pihak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun negara.
Islam mewajibkan para orangtua untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Tata cara dalam mendidik anak sudah ditetapkan serta dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Gambaran proses pendidikan terhadap anak pun dijelaskan di dalam al Quran dalam kisah Lukman.
Allah ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).
Selanjutnya, ketika anak-anak keluar dari rumah, orangtua tidak perlu khawatir dengan pengaruh buruk lingkungan. Sebab Islam mewajibkan umatnya untuk gemar melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Umat yang tidak akan pernah acuh terhadap berbagai kemaksiatan. Sebab mereka menyadari kewajiban dakwah dan nasihat.
Ada begitu banyak dalil yang menjelaskan tentang kewajiban ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya: "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Terakhir, kehadiran negara dalam proses membina masyarakat merupakan faktor yang paling penting. Karena negara memiliki kekuasan untuk membuat berbagai kebijakan atau aturan yang memaksa masyarakat untuk tunduk pada aturan tersebut.
Dalam Islam, negara wajib menerapkan berbagai aturan berlandaskan akidah Islam. Untuk membina masyarakat, maka negara wajib menerapkan sistem pendidikan Islam. Sistem ini telah terbukti mampu melahirkan generasi ungggul dan shalih. Mereka adalah generasi yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT.
Mulai dari usia dini hingga baligh, sudah tertanam benih-benih ketakwaan. Tidak akan terpikirkan untuk melakukan kejahatan, sebab dalam jiwa mereka sudah terpatri keimanan dan pemahaman Islam yang benar.
Untuk melihat bagaimana hasil pendidikan dalam Islam, kita bisa melihat generasi para sahabat dan setelahnya. Mereka yang di usia muda, sudah mampu menaruh prestasi yang luar biasa. Bukan hanya prestasi yang berkaitan dengan dunia, namun prestasi yang akan menjadi bekal mereka menuju surga.
Kedua, yakni mekanisme penanganan. Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatasi berbagai kasus kejahatan. Hal ini dibahas secara khusus dalam kitab sistem sanksi dalam Islam.
Jadi, setelah masyarakat dibina dengan Islam, namun tetap ada yang melakukan pelanggaran terhadap syariat, maka ia wajib diberikan sanksi sesuai dengan kejahatan atau kemaksiatan yang dilakukannya.
Masyarakat pun menyadari konsekuensi akan perbuatannya. Maka, kesadaran untuk mendapat hukuman ini seringkali muncul di tengah masyarakat. Mereka rela dihukum, demi menebus kesalahan, sehingga meringankan hisab di akhirat kelak.
Hal ini betul-betul terjadi pada masa Rasulullah Saw. yakni ketika seorang wanita pezina mendatangi Rasul untuk meminta hukuman atas perbuatan zinanya. Kala itu, Rasul menunda sanksi hingga wanita tersebut selesai menyusui bayi yang dilahirkannya.
Lantas, seperti apakah sanksi bagi pelaku pemerkosaan? Jika yang menjadi pelaku adalah mereka yang sudah baligh (dewasa), maka hukuman yang diberikan sama seperti hukuman bagi pezina. Pelaku yang belum menikah, hukumannya adalah dijilid 100 kali dan diasingkan. Sedangkan yang sudah menikah, hukumannya dirajam.
Untuk kasus kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang masih tergolong anak-anak, maka dikembalikan kepada wali dari pelaku untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anaknya. Kemudian pemimpin atau qadhi akan memutuskan solusi berdasarkan hasil ijtihadnya. Mari kita simak hadits berikut:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رُفعَ القلَمُ عن ثلاثةٍ : عنِ الصَّبيِّ حتَّى يبلغَ ، وعن المجنونِ حتَّى يُفيق ، وعنِ النَّائمِ حتَّى يستيقظَ
“Pena catatan amal diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai ia waras, dari orang yang tidur sampai ia bangun.” (HR. Bukhari secara mu’allaq, Abu Daud no. 4400, disahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’, 2: 5)
Dari hadits di atas jelas bahwa anak-anak belum berhak mendapatkan sanksi sebagaimana orang dewasa. Hanya saja, tentu harus menjadi evaluasi bersama agar kasus kejahatan yang dilakukan anak-anak tidak terjadi lagi.
Dan sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai faktor penyebabnya, maka solusinya pun jelas, bahwa masyarakat hari ini membutuhkan solusi alternatif yang mampu menciptakan lingkungan masyarakat yang penuh dengan suasana takwa, itulah sistem Islam. Wallahua'lam
Tags
Opini