Oleh: Ummu Ayla
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)
Kelangkaan minyak kembali terjadi.Hal ini menggambarkan adanya kesalahan pengelolaan pemenuhan salah satu kebutuhan rakyat. Seperti halnya disampaikan minyak goreng besutan pemerintah yang diluncurkan tahun lalu, MinyaKita, mendadak langka di sejumlah daerah. Kalaupun ada, harga jual dari pedagang melonjak hingga Rp 20.000 per liter. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 49 Tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000 per liter(kompas.com/2/3/2023).
Adanya kelangkaan minyak dikarenakan ekspor CPO yang besar ke luar negeri tentu sangat aneh, mengingat negara Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Wilayah di Indonesia yang terkenal akan kekayaan perkebunan sawit adalah Provinsi Kalimantan dan Sumatra.
Pertumbuhan kelapa sawit sendiri di Indonesia hingga tahun 2021 tercatat sebanyak 9,98% atau 49,71 juta ton. Produksi CPO di pabrik rata-rata adalah 60 ton/jam/pabrik. Data angka produksi tersebut jelas sangat besar. Bahkan berdasarkan data, di Kalimantan Selatan tercatat ada 37 buah perkebunan kelapa sawit. Begitu juga dengan industri kelapa sawit penghasil minyak goreng (industri hilir) juga besar seperti pabrik minyak goreng Rifenery di Kotabaru.
Diketahui, sebagian besar pemilik industri CPO dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia termasuk Kalimantan Selatan adalah dikuasai oleh swasta. Wajar ketika pemerintah saat ini tidak bisa berkutik. Pihak swasta dengan perannya ternyata mampu memainkan harga. Sedangkan Pemerintah hanya bisa tunduk dengan apa yang diperintahkan para oligarki(matabanua/22/3/2022).
Meski telah dibuat kebijakan, namun selama kapitalisme masih menjadi asas, maka kebijakan tersebut tak akan mungkin memecahkan persoalan. Semua pengusaha menjadikan keuntungan sebagai tujuan, karena itu tak mungkin ‘bersedia’ memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah
Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Maka kebijakan yang dibuat pun untuk memenuhi kebutuhan rakyat seharusnya dengan menggunakan politik ekonomi Islam. Yang menjadikan negara tidak tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalis. Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah, sehingga kondisi harga pun terkendali dan stok pun mencukupi.
Tingginya harga minyak karena di klaim harga CPO naik, namun ketika CPO turun harga minyak masih tetap tinggi dan langka. Mirisnya, disisi lain posisi petani sawit justru memilukan. Kebijakan larangan ekspor justru merugikan petani, minyak goreng tetap langka dan harganya tetap tinggi. Sungguh ironi Indonesia di kenal sebagai produsen CPO terbesar di dunia, namun harga minyak goreng justru mahal bahkan langka. Hal ini mengisyaratkan adanya praktik kartel.
Urusan masyarakat di atur oleh sistem kapitalisme di mana sistem ini hanya berorientasi pada materi. Para pemilik modal menjadi penguasa sesungguhnya. Negara tidak memiliki kekuatan berhadapan dengan para pemilik modal, hingga mengesampingkan kesejahteraan rakyat. Solusi pragmatis yang diberikan justru menyengsarakan rakyat, ini adalah kenestapaan masyarakat yang hidup dalam sistem kapitalisme. Negara yang seharusnya mengurus rakyatnya justru hanya sebagai regulator. Kebijakan yang tunduk dengan perintah para pemilik modal dan semata untuk keuntungan mereka.
Inilah bobroknya sistem kapitalisme, para penguasa pastinya terus memperhitungkan untung-rugi dalam setiap kebijakan. Jika hal ini terus berulang, rakyat terus mendapatkan kerugian.
Sangat miris bila melihat polemik naik-turunnya harga minyak goreng. Semuanya tidak lepas dari akal busuk kapitalisme yang sangat rakus untuk meraih cuan. Terlebih, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih untung sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.
Tidak heran, para pemodal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran, karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.
Hal yang demikian tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Islam mengatur ekonomi sesuai dengan syariat Islam, sedangkan penimbunan merupakan praktik terlarang dalam Islam. Dalam Islam akan memaksa al-muhtakir (orang yang menimbun) agar menjual barangnya ke pasar dengan harga pasar. Hal ini untuk mengatasi kelangkaan barang.
Adapun untuk mengatasi melonjaknya harga, solusi Islam bukanlah penetapan harga sebagaimana HET, karena tas’ir (penetapan harga) merupakan praktik yang diharamkan. Solusi untuk mengatasi harga yang melonjak adalah dengan menambah pasokan, jika perlu dengan mendatangkan barang dari wilayah lain.
Islam juga melarang praktik permainan harga oleh kartel atau al-ghabnu al-fâhisy, yaitu menjual barang di luar harga pasar sehingga mampu mengendalikan harga. Ini adalah praktik yang diharamkan.
Sangat jelas sekali bahwa tata kelola minyak goreng ini bukan semata kegagalan Kemendag atau pemerintah, namun kegagalan sistem kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yaitu pangan. Sudah seharusnya sistem ini diganti dengan sistem Islam yang memiliki solusi efektif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan.
Dalam Islam penguasa adalah sebagai pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Maka kebijakan yang di buat pun menggunakan politik Islam, yang menjadikan negara tidak di kuasai oleh berbagai kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem sistem kapitalis. Dengan demikian negara mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga murah sehingga kondisi harga pun terkendali dan stok pun mencukupi.
Wallahu a’lam bishawwab
Tags
Opini