Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd.
(Relawan Opini)
Serba-serbi dunia kerja memang tak ada habisnya untuk diperbincangkan. Seperti yang terjadi pada awal tahun ini, dimana pekerja tambang di Morosi Kabupaten Konawe makin banyak yang memutuskan untuk berhenti bekerja, mulai dari persoalan gaji yang dinilai tidak sesuai sampai kondisi kesehatan yang dialami pekerja, menjadi alasan.
Hal ini turut diungkapkan oleh Arul (32) yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sejak 22 Desember 2022 sebagai crew pekerja umum PT Obsidian Stanless Steel (OSS). "Saya sudah bekerja sekitar 1,6 tahun, akan tetapi selama saya sakit tidak pernah ada tanggungan BPJS Ketenagakerjaan seperti yang dijanjikan perusahaan," ungkap Arul, Minggu (15/1/2023).
Belum lagi dengan jarak yang ditempuh pekerja menjadi masalah tambahan, diketahui mayoritas pekerja yang memutuskan untuk berhenti adalah pekerja yang menetap di Kota Kendari. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan setiap harinya saat pergi bekerja di Morosi sekitar Rp 75.000 dianggap tidak sebanding dengan gaji upah minimum pekerja Rp 2.700.000 untuk setiap bulanya hanya menyisakan Rp 450.000 (Telisik.id, 15/1/2023).
Para Pekerja Menjadi Tumbal Kepentingan Ekonomi Negara
Memimpikan hidup sejahtera di bawah sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara hari ini nampaknya angan-angan kosong belaka. Padahal, mereka bekerja ditanah airnya sendiri, namun tidak mendapatkan keadilan.
Di tengah kepentingan dan kemajuan ekonomi yang dicita-citakan oleh sebuah negara ini, ternyata ada korban yang harus ditumbalkan, yakni kaum pekerja atau buruh. Di satu sisi mereka bekerja dengan keras tak kenal lelah, namun di sisi lain juga harus memenuhi kebutuhan pokok keluarganya baik sandang, pangan, papan, kesehatan juga pendidikan. Dengan minimnya kesejahteraan, bisa jadi gali lubang tutup lubang dijadikan solusi, artinya penderitaan hidup semakin mengimpit.
Demikianlah sistem kapitalis dengan prinsip ekonominya, "Keluarkan modal sekecil-kecilnya, untuk keuntungan sebesar-besarnya." Hingga wajar, jika perusahaan yang dipegang oleh oligarki terkesan "pelit" mengeluarkan materi (gaji) untuk kesejahteraan para pekerjanya.
Kita bisa melihat juga bahwa disini negara telah berlepas tangan. Dimana Negara telah memberikan wewenang sepenuhnya kepada para pengusaha atas pengelolaan SDA dan SDM sesuai kepentingan badan usahanya.
Ditambah lagi tidak adanya akan jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan yang merupakan tanggung jawabnya. Maka pekerja atau rakyatlah lagi-lagi yang merasakan, "sudah jatuh tertimpa tangga pula."
Islam Mengayomi Pekerja
Semua sendi-sendi kehidupan manusia itu diatur oleh Islam, termasuk masalah hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja, sehingga tidak tumpang-tindih, tidak saling dzalim-mendzalimi satu sama lainnya.
Negara yang menerapkan aturan Islam juga tidak akan mengizinkan SDAnya dikuasai oleh pihak lain, baik itu swasta maupun asing. Karena negara sendirilah yang akan mengelola untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sehingga, persoalan lawas ketenaga kerjaan seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim). Waallahu a'lam.
Tags
Opini