Oleh : Ummu Hadyan
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kembali mendapat sorotan. Pasalnya, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) berencana meminjam ke China Development Bank (CBD) sekitar Rp8,3 triliun untuk ikut menutupi pembengkakan biaya pembangunannya.
Terkait rencana pengajuan utang tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan pendapat. Pemerintah, katanya, mendukung langkah yang akan diambil PT KCIC untuk dapat meneruskan proyek tersebut karena semua pihak harus mendukung transportasi massal.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, nilai pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang telah disepakati oleh Indonesia dan China adalah sebesar $1,2 miliar. Untuk dapat menutupi pembengkakan biaya tersebut Indonesia, lewat PT KCIC, berencana meminjam dari China Development Bank (CDB) senilai $550 juta atau sekitar Rp8,3 triliun. (www.voaindonesia.com 17/02/2023)
Akibat pembengkakan biaya ini terjadi perpanjangan konsesi kereta cepat Jakarta Bandung atau KCJB hingga 80 tahun. Staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menegaskan perpanjangan proyek ini bukan hanya kemauan China tapi juga perusahaan plat merah Indonesia. (www.cnnindonesia.com 17/02/2023)
Sebenarnya para pakar telah banyak mengingatkan pemerintah akan inefisiensi proyek tersebut. Sebab proyek KCJB sejatinya bukanlah proyek yang mendesak. Sudah ada beberapa alternatif transportasi Bandung Jakarta seperti pesawat yang membutuhkan durasi waktu sekitar 20 sampai 30 menit, kereta api dengan durasi sekitar 3 jam dan juga bisa ditempuh dengan mobil pribadi dan moda transportasi lainnya.
Sayang nya model pembangunan infrastruktur dalam negara Kapitalisme didasari pada untung dan rugi antar korporasi yang dibalut regulasi negara, bukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh sekertaris perusahaan KCIC Rahadian Ratry bahwa proyek kereta cepat Jakarta Bandung dijalankan dengan skema bisnis to bisnis.
Padahal kondisi keuangan negara Kapitalisme tidaklah kokoh karna bersumber pada pajak dan hutang. Akibatnya ketika ingin membangun infrastruktur besar jalan yang dipilih adalah dengan mendatangkan investor asing dan jelas kerjasama ini pasti akan disepakati berdasarkan hukum bisnis. Maka wajar pemerintah sampai mengambil kebijakan Peraturan Presiden Nomor 93 tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 107 tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung.
Dengan aturan baru ini pembiayaan yang awalnya diklaim tidak menggunakan uang rakyat namun dari investor berubah menjadi APBN agar pembangunan nya tetap berlanjut. Bahkan akibat kesalahan perencanaan yang menyebabkan pembengkakan biaya ini membuat konsensi yang awalnya 50 tahun menjadi 80 tahun.
Konsesi adalah keputusan pejabat pemerintah yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan badan dan atau pejabat pemerintahan dengan selain badan dan atau pejabat pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang undangan.
Kondisi demikian bisa berpotensi kehilangan kedaulatan atas pembangunan infrastruktur dan layanan fasilitas publik menjadi barang komersil yang tidak mudah dijangkau oleh masyarakat. Jadi proyek KCJB ini sejatinya hanya menguntungkan para Kapital yang bermain didalamnya.
Sangat berbeda dengan Sistem Islam yang disebut dengan Khilafah ketika membangun infrastruktur. Hal yang mendasari membangun infrastruktur dalam Khilafah adalah kepentingan masyarakat bukan korporat.
Khilafah hanya akan membangun infrastruktur dengam prinsip prinsip :
1. Infrastruktur dibangun untuk kepentingan rakyat dan memudahkan sosial ekonomi masyarakat.
2. Negara yang bertanggung jawab secara penuh untuk mengelola dan membiayai nya.
3. Perencanaan dilakukan dengan matang yaitu dengan menganalisis dampak kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat.
Sehingga pelaksanaan proyek infrastruktur tersebut menjadi bagian pelaksanaan syariah kaffah agar terwujud nilai ruhiyah, insaniyah dan khuluqiyah. Dari konsep ini pembangunan dalam Khilafah dipastikan hanya untuk kepentingan rakyat.
Adapun untuk pembiayaan infrastruktur Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab nya Al Amwal fid Daulah Khilafah menjelaskan pendapatan Khilafah bisa diambil dari pos kepemilikan negara atau pos kepemilikan umum Baitul Mal.
Pos kepemilikan negara berasal dari harta kharaj dan usyur, jizyah, ghanimah, ghulul dan sejenisnya. Sedangkan pos kepemilikan umum berasal dari pengelolaan harta sumber daya alam secara mandiri oleh Khilafah. Konsep pembiayaan ini membuat negara Khilafah berdaulat penuh atas infrastruktur yang diperuntukkan kepada rakyat. Sehingga rakyat dapat menikmatinya dengan harga terjangkau bahkan gratis.
Adapun dalam waktu pengadaannya Syaikh Abdur Rahman Al Maliki dalam kitabnya As Siyasah Al Iqtishadiyah al Mutsla menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur dalam Islam terbagi menjadi 2 jenis :
1. Infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. Misalnya satu desa tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit dan saluran air minum. Maka negara wajib membangun infrastruktur jenis ini tanpa memperhatikan ada atau tidak ada nya dana di Baitul Mal Khilafah.
Jika ada dana di Baitul Mal, Khilafah akan mengalokasikan dana tersebut. Jika tidak ada Khilafah akan memungut dharibah dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta.
2. Infrastruktur yang tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda. Contohnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dan sebagainya. Maka dalam kondisi ini Khilafah tidak akan membangun nya jika tidak ada dana dari Baitul Mal.
Maka jika dilihat proyek KCJB termasuk infrastruktur yang tidak mendesak, tidak urgen bahkan pembiayaan nya bersumber dari utang ribawi yang bisa mengancam kedaulatan dan kemandirian negara. Karna itu jika umat masih dalam kepemimpinan Sistem Kapitalisme maka pembangunan infrastruktur selamanya hanya berorientasi pada kapital.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini