Oleh : Eti Fairuzita
Komisi VIII DPR RI telah memanggil Kementerian Agama (Kemenag) guna meminta penjelasan terkait kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 2023. Pembahasan awal sendiri telah dilakukan pada Selasa (14/2/2023).
DPR menilai usulan penyesuaian Bipih 2023 sebesar Rp 69,2 juta dinilai terlalu memberatkan. Apalagi, DPR juga menemukan berbagai komponen yang menimbulkan perdebatan.
Salah satunya mengenai komponen biaya pendampingan penerbitan paspor yang dianggarkan Kemenag sebesar Rp 1,61 miliar. DPR lantas mempertanyakan penting atau tidaknya biaya pendampingan ini untuk dimasukkan ke dalam komponen Bipih 2023.
Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta.
Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Ibadah haji disyariatkan sebagai fardu ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan mampu, sebagaimana yang dinyatakan dalam surah al-Imran ayat 97. Selain bernilai ibadah mahdhah, haji juga memiliki makna politis dan syiar agama Islam. Makna politis ini tampak pada bersatunya kaum muslimin ketika wukuf di Arafah. Kaum muslimin di seluruh dunia diikat oleh akidah yang sama, al-Quran yang sama, kiblat yang sama, sama sekali tidak ada perbedaan kelas dan strata. Seluruh kaum muslimin berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama, yakni bacaan talbiyah, tahlil, tahmid, takbir, zikir, dan doa.
Adapun makna syiar agama terlihat pada serangkaian prosesi ibadah haji itu sendiri. Berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat, melakukan ibadah yang sama, mengumandangkan seruan yang sama menunjukan kehebatan Islam dalam menyatukan para pemeluknya.
Tapi nahas, makna ibadah haji kini justru dikerdilkan oleh penguasa kapitalisme sebagai ibadah ritual semata. Penguasa kapitalisme yang berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya, memandang bahwa semakin banyak kuota jemaah haji, maka akan makin banyak pula keuntungan yang didapat.
Sangat nampak bahwa pelayanan penguasa kapitalisme saat ini dalam mengurusi ibadah kaum muslim hanya berorientasi pada bisnis. Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Penguasa dalam sistem ini adalah khadimul ummah atau pelayan umat. Setiap kebijakan mereka senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya termasuk dalam perkara ibadah.
Untuk mengatur penyelenggaraan haji selain terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum ijra'i yang terkait dengan teknis dan administrasi. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah ad- Daulah Khilafah, menjelaskan bahwa prinsip dasar Khilafah mengatur masalah manajerial adalah basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su'ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang professional.
Karena itu, sebagai satu negara yang menangani lebih dari 50 negeri kaum muslimin, Khilafah akan mengambil kebijakan berupa : pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus haji dan umrah dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini adalah mengurus persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Dalam menjalankan tugas ini departemen haji akan bekerja sama dengan depertemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi masal.
Kedua, ongkos naik haji (ONH) ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa dalam sistem saat ini. Besar kecilnya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jemaah dengan Tanah Haram yakni Makkah-Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.
Khilafah akan menyediakan opsi rute baik dari darat, laut, dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Karena negara Khilafah merupakan satu-kesatuan dari negeri-negeri kaum muslimin, sehingga untuk melakukan berkunjung dari satu wilayah ke wilayah yang lain, hanya perlu menunjukan kartu identitas, bisa KTP atau pun Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang jadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fI'lan.
Ke empat, pengaturan kuota haji dan umrah. Khilafah akan menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam hal ini,
Khilafah akan memperhatikan 2 hal : pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup.
Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu.
Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah untuk semakin memudahkan para tamu Allah dalam beribadah. Di antara bukti nyata negara Khilafah dalam mengurus ibadah haji, terlihat pada kebijakan Sultan Abdul Hamid ll, seorang Khalifah pada masa Khilafah Ustmaniyyah. Beliau membangun sarana transportasi massal jalur kereta api (Hijaz railway) dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji.
Bahkan jauh sebelum Khalifah Ustmaniyyah, seorang Khalifah Abasiyyah, Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Di masing-masing titik, dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik termasuk dana zakat bagi mereka yang kehabisan bekal. Tidak hanya itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang ulama dan anak-anak mereka bila beliau naik haji. Jika ia sedang berjihad, sehingga ia tidak berangkat haji, maka ia menghajikan 300 orang ulama dan anak-anak mereka, dan semua biaya itu berasal dari harta pribadi milik Khalifah. Inilah secuil gambaran sejarah Khilafah Islam dalam melayani tamu Allah yang tak akan pernah bisa diwujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini