Lagi, Kekerasan Seksual Terhadap Anak TK Terulang



Oleh Ela Mustikawati 
(Aktivis Pemerhati Anak)


Bocah Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban perkosaan tiga anak Sekolah Dasar (SD). Korban mendapat perlakuan tak senonoh secara bergiliran dan dugaan kasus ini sudah ditangani aparat kepolisian setempat. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Polisi Gondam Prienggondhani membenarkan bahwa pihaknya menerima laporan kasus tersebut.

Kuasa hukum korban, Krisdiyansari menceritakan, peristiwa perkosaan itu terjadi pada 7 Januari 2023 lalu. terduga pelaku merupakan tetangga korban dan teman sepermainan. Mulanya, lanjut Krisiyansari, terduga pelaku mengajak korban yang tengah bermain sendiri. Korban kemudian diajak ke sebuah rumah kosong. Di rumah tak berpenghuni itulah korban dipaksa tidur dan celananya dipelorot. “Korban disetubuhi bergantian oleh ketiga pelaku," kata Krisdiyansari.

"Tanggal 18 Januari 2023 sudah dilakukan pemeriksaan terhadap korban, orang tua korban, dan dua tersangka (20/1) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswi taman kanak-kanak (TK) berusia 5 tahun di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang para pelakunya masih berusia anak-anak. KemenPPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto. KemenPPPA berkomitmen akan mengawal dan memperhatikan pemenuhan hak-hak korban.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan sebanyak 4.683 aduan masuk ke pengaduan sepanjang 2022. Nyaris dari lima ribu pengaduan itu bersumber dari pengaduan langsung, pengaduan tidak langsung (surat dan email), daring dan media massa. Pengaduan paling tinggi adalah klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah jenis kasus anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus. 

KPAI menemukan kekerasan seksual terjadi di ranah domestik di berbagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan maupun umum. Selama 2022, Provinsi dengan pengaduan kasus anak korban kekerasan seksual terbanyak adalah DKI Jakarta dengan 56 pengaduan dan Provinsi Jawa Timur dengan 39 pengaduan. Data pengaduan Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif sebanyak 1960 aduan. Angka tertinggi pengaduan kasus pelanggaran hak anak terjadi pada anak korban pengasuhan bermasalah/konflik orang tua/keluarga sebanyak 479 kasus. 

Berikutnya, data anak korban kekerasan fisik dan atau fsikis sebanyak 502 kasus. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan atau psikis kepada anak diantaranya adalah adanya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak. 

Selanjutnya anak berhadapan hukum sebanyak 184 kasus. Anak korban pornografi dan cyber crime sebanyak 87 kasus. Anak dalam situasi darurat sebanyak 85 kasus serta anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebanyak 85 kasus, dan kasus pelanggaran hak anak lainnya sebanyak 95 kasus. 

Data ini dipastikan merupakan fenomena gunung es, mengingat kasus  KtA—apalagi kekerasan seksual—banyak terjadi di ranah privat. Tidak semua orang berani melapor, apalagi membawa kasusnya ke jalur hukum.

Selain itu, bisa kita katakan, hari ini tidak ada satu tempat pun yang aman dari terjadinya tindak kekerasan. Di semua tempat, kekerasan bisa terjadi dan pelakunya bisa saja orang yang paling dekat dan dihormati, seperti saudara, bahkan orang tua di rumah; di tempat umum, lembaga sekolah, bahkan di pondok pesantren sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.

Hal ini jelas menunjukkan ada kerusakan parah dalam masyarakat. Tampak dari hilangnya kepedulian, rasa kemanusiaan dan penghormatan kepada sesama manusia, bahkan perlindungan terhadap anak di bawah umur.

Sebenarnya, sudah banyak upaya untuk menghapuskan KtA, baik secara global maupun nasional. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga negara independen, sedangkan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merupakan lembaga masyarakat. Di dunia internasional sendiri ada United Nations International Children's Emergency Fund” (Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa). Lahir  pada 11 Desember 1946.

Namun sangat disayangkan keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak serta merta kasus kekerasan terhadap anak berkurang, bahkan kalau di amanati semakin meningkat dengan ragam kasus yang semakin membuat kita miris.

Tingginya KtA memperlihatkan lemahnya aturan yang lahir dari akal manusia. Buktinya, beragam konvensi, kesepakatan, dan aturan tentang penghapusan tindak kekerasan, baik skala internasional, regional, maupun nasional, tidak mampu memberantas tuntas KtA dari masa ke masa. Malah makin menyuburkannya.

Jika kita cermati, maraknya kekerasan seksual terhadap anak sesungguhnya karena tidak adanya perlindungan terhadap anak, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga akibat minimnya pemahaman tentang kewajiban masing-masing, serta tidak berlakunya aturan baku di tengah umat.

Ini semua akibat umat Islam sedang berada dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme. Sistem kehidupan sekuler memberi kebebasan bagi perilaku menyimpang, seperti aktivitas pacaran, elgebete, dan sejenisnya. Belum lagi peran media yang banyak merangsang pemenuhan naluri seksual secara liar.

Sistem ini telah mengikis ketakwaan individu. Walhasil, kriminalitas marak terjadi, mulai dari perundungan, penganiayaan, pelecehan, intimidasi, hingga pembunuhan. Kasus-kasus seperti ini adalah efek penerapan sistem sekularisme. Tidak akan selesai dengan perubahan UU atau pembuatan RUU yang notabene berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas.

Berbeda dengan Islam yang begitu memuliakan anak . Kedudukan anak dalam Islam sesuatu yang istimewa. Kehadiran anak sejatinya adalah pewaris untuk melanjutkan kelangasungan kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Furqon: 25, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di akhirat juga menjadi pengikat bagi setiap muslim untuk selalu taat pada aturan-Nya. Tak terkecuali memberikan perhatian khusus dalam merawat dan mendidik anak.

Islam pun memiliki seperangkat aturan yang akan melindungi anak. Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada anak, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.” (HR Bukhari: 2278).

Islam menjamin jiwa manusia , tak terkecuali anak, Islam memberikan keutamaan dalam memperlakukan dan mendidik anak. Anak  adalah sebuah amanah yang harus dijaga, karena anak adalah penyambung generasi,  penerus peradaban yang keberadaanya harus selalu dijaga sebaik-baiknya.

Selain itu, Islam juga mewajibkan negara untuk melindungi rakyatnya, termasuk anak. Hal ini tecermin dalam tindakan Rasulullah saw. Meskipun anak kecil itu memiliki kondisi yang sulit dipahami, membuat lelah orang yang mengasuhnya, dan banyak tingkah, akan tetapi Rasulullah tidak pernah marah, membentak, maupun menghardik mereka. Bahkan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap bersifat lemah lembut dan tenang (dalam menghadapi mereka).

Untuk itu, sangat jelas bahwa Islamlah yang dapat menjamin keamanan anak. Penerapan aturan Islam secara kafah, baik oleh individu maupun negara, akan memberikan rasa aman bagi anak. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak