Oleh : Sari Isna Tulungagung
Ramai diberitakan di media sosial kasus pelecehan yang dilakukan oleh seorang ‘perempuan’. Perempuan berinisial NT (25), yang juga seorang ibu rumah tangga diduga melakukan pelecehan seksual terhadap 11 anak di bawah umur di Kawasan Rawasari, Kota Jambi. Perempuan pemilik rental PlayStation (PS) ini dilaporkan oleh orang tua dari 11 korban terdiri dari 9 laki-laki dan 2 perempuan. Modusnya beragam mulai dari diiming-imingi main PS gratis sampai ada yang diancam. Dari disuruh memegang bagian vitalnya, ada yang disuruh menonton video porno, bahkan ada yang dipaksa menyentuh tubuh pelaku serta melihat adegan badan bersama suaminya. (kompas.com, 04/02/2023).
Sangat miris ketika perempuan yang selama ini dianggap sebagai korban, ternyata bisa menjadi pelaku, bahkan dalam perbuatan yang sangat keji. Tidak hanya kasus pelecehan, di era digital sekarang ini tidak sedikit kita jumpai konten-konten dari para perempuan yang mengumbar seksualitasnya, menunjukkan birahinya, bahkan tidak malu lagi menceritakan kebinalannya dengan lawan jenis. Hanya demi konten, hanya demi meraup jumlah follower, demi menuruti hawa nafsunya belaka.
Di sinilah perlu kita pertanyakan, di mana harga dirinya, di mana rasa malunya sebagai perempuan? Bukankah perempuan diciptakan sangat menempel dengan rasa malu? Bukankah mahkota seorang perempuan itu adalah rasa malu? Bagaimana moral generasi di masa depan tanpa rasa malu? Bukankah Rasulullah Saw bersabda, “Jika engkau tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu”. Tanpa rasa malu perempuan akan berbuat sesuka hati, tanpa terkendali.
Sejak dahulu ketika setan ingin merusak sebuah peradaban, maka ia akan menggerakkan perempuan-perempuan yang ia kuasai untuk merusak dirinya sendiri. Dengan menanggalkan rasa malu yang seharusnya merupakan sebagaian dari iman yang Allah sematkan pada setiap perempuan. Hilangnya rasa malu maka rusak pula tulang punggung peradaban, karena generasi terburuk akan terbentuk dari perempuan yang tidak mengenal rasa malu.
Kasus-kasus ini benar-benar membuktikan betapa rusaknya sistem kehidupan yang berlandaskan kepada sekulerisme kapitalisme. Sistem kehidupan yang memisahkan agama dari kehidupan dan hanya mengejar materi tanpa mau tahu halal haram. Fitrah keibuan pun menjadi rusak, dan ini adalah bukti nyata bobroknya sistem ini. Perempuan yang seharusnya menjadi tiang peradaban, menjadi sumber pendidikan dalam keluarga lebih memilih ketenaran demi cuan. Karena itu, tidak sepantaasnya umat berharap kebaikan dalam sistem ini, karena sistem ini merusak kehidupan manusia.
Islam memiliki aturan kehidupan yang sempurna dan menyeluruh, untuk mengatur kehidupan dunia, dan menetapkan adanya pertanggungjawaban di akherat. Dengan Islam perempuan akan terjaga kemuliaannya, memahami batasan-batasan yang bisa membuat perempuan terjaga. Adanya iman di dada akan membuahkan rasa malu sebagai sebuah benteng kokoh yang membatasi perempuan dari kemaksiatan. Dalam segala sikap dan tindakan akan tetap dalam kesadarannya sebagai makhluk Allah SWT yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Dengan demikian perempuan akan tetap terjaga fitrahnya sebagai seorang perempuan dan sebagai seorang ibu, serta manusia terjaga tetap dalam fitraahnya sebagai manusia yang merupakan sebaik-baik ciptaan.
Tags
Opini