Oleh: Tri S, S.Si
Kelaparan di lumbung padi. Ini mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi sebagian rakyat Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, Indonesia yang dikenal kaya akan sumber daya alam tetapi kekayaan tersebut tidak mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya. Bagaimana bisa?
Jumlah rakyat miskin cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, naik 0,20 juta orang. Apalagi di tahun 2023 ini, jumlah penduduk miskin diperkirakan akan semakin meningkat karena adanya prediksi resesi ekonomi. Sedangkan dalam masalah tenaga kerja, Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan bahwa belum sepenuhnya angkatan kerja terserap akibat pandemi dua tahun terakhir ini (16/1/2023). Hal ini bahkan diperparah dengan adanya gelombang PHK yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini tentunya akan berimbas pada bertambahnya angka kemiskinan yang ada.
Angka kemiskinan yang terus meningkat, jumlah pengangguran yang terus melonjak merupakan akibat tata kelola ekonomi yang salah dalam sistem kapitalisme ini. Adanya kebebasan kepemilikan dan dominannya peran pemilik modal sangat berperan besar pada semakin meningkatnya angka kemiskinan. Pihak mana pun, individu atau swasta (nasional atau asing) yang memiliki modal besar bebas memiliki dan melakukan apapun di negeri ini. Hal ini sangat dipermudah dengan adanya berbagai regulasi negara yang memihak kepada mereka. Sebaliknya menindas orang tidak punya.
Inilah tabiat sistem sekuler kapitalisme; rusak dan merusak. Sumber daya alam yang merupakan milik umum seharusnya dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini juga tercantum dengan jelas dalam UUD 1945. Tapi faktanya nol besar! Negara malah memberikan kesempatan sebesar- besarnya kepada pihak manapun: individu/ swasta, nasional/asing, yang ingin mengelola SDA Indonesia, atas nama investasi. Dan mirisnya keuntungan terbesar diperoleh oleh pihak pengelola, bukan oleh pemiliknya.
Beginilah ketika negara memposisikan diri bukan sebagai pelayan rakyat, yang fokus memikirkan dan mengusahakan kemakmuran dan kepentingan rakyat; tetapi negara seolah seperti pihak yang dibayar untuk mengurusi rakyat, yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuannya. Inilah yang disebut negara korporasi. Negara dan pengusaha bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat. Akibatnya pemilik modal semakin kaya, sedangkan rakyat kecil semakin miskin.
Tata kelola ekonomi seperti ini jelas berbeda dengan Islam. Syariat Islam mempunyai aturan yang sempurna dan menyeluruh terkait ekonomi. Ada tiga konsep kepemilikan dalam Islam: kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik umum yang harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Dan hasilnya diperuntukkan untuk mengurusi seluruh urusan umat.
Negara Islam tidak akan memberikan celah sedikit pun kepada pihak lain untuk ikut andil dalam pengurusan sumber daya alam, atas nama apa pun. Hasil dari pengelolaan sumber daya alam akan dikembalikan kepada umat dalam bentuk pemenuhan seluruh kebutuhan pokok rakyat: sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan, pembangunan sarana umum, dan lain-lain. Pembagiannya pun didasarkan pada prinsip keadilan, merata untuk seluruh wilayah. Jadi tidak akan ada cerita, satu wilayah makmur sedangkan wilayah yang lain kekurangan.
Dengan terjaminnya seluruh urusan umat oleh negara, kemiskinan akan bisa diminimalisir. Kalau pun dari sumber daya alam tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, maka ada pos- pos lain yang akan digunakan untuk memenuhinya, antara lain dari zakat. Jadi negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk benar-benar menekan angka kemiskinan dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh syara'.
Penerapan syariah Islam kaffah dalam naungan negara Islam seperti itu sangat kita rindukan. Syariat Islam akan menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umatnya. Tidak hanya di dunia tapi juga hingga di akhirat kelak. Jika itu dilakukan, mungkin saja kemiskinan berkurang drastis. Hal itu pernah terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam dua tahun kepemimpinannya, hampir tidak ditemukan penduduk miskin. Bahkan sang Khalifah sampai dibuat bingung harus diserahkan pada siapa harta zakat yang terkumpul. Karena rakyatnya merasa tidak berhak menerima zakat. Semua sejahtera dan kebutuhan dasarnya terpenuhi. Itu adalah contoh nyata sepanjang sejarah. Kemiskinan nihil bisa saja asal ekonominya berbasis syariah. Kalau berbasis kapitalis-liberal target itu seperti mimpi yang sulit terwujud.