Indonesia Terperdaya Janji Manis Proyek KCJB




Oleh : Eti Fairuzita


Pembangunan proyek kereta cepat memang menelan biaya besar. Pada awal perencanaannya, proyek ini membutuhkan dana sekitar 86,5 triliun rupiah dan pemerintah berjanji tidak akan menggunakan uang rakyat, namun mengandalkan investor. Tetapi dalam perjalanannya, proyek ini mengalami masalah keuangan. Diantaranya mengalami kekurangan ekuitas dasar, defisit kas, dan pembengkakan biaya. Masalah ini bisa terjadi disebabkan karena kesalahan perencanaan. Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fash and Slow, menjelaskan perencanaan ini bisa terjadi karena para pencana sering kali menggunakan penilaian berdasarkan intuisi yang sering kali tidak akurat.

Mereka membuat prediksi yang terlalu optimis dan mengabaikan informasi dari luar. Sebagaimana proyek (KCJB), para pakar telah banyak mengingatkan pemerintah akan inefisiensi proyek tersebut. Sebab, proyek KCJB sejatinya bukanlah proyek yang mendesak. Sudah ada beberapa alternatif transportasi Bandung-Jakarta yang telah beroprasi seperti pesawat, kereta api yang hanya berdurasi 3 jam, bahkan bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi.

Sayangnya model pembangunan infrastruktur dalam negara kapitalisme didasari pada untung dan rugi antar korporasi dibalut regulasi negara, bukan untuk kepentingan rakyat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh sekertaris perusahaan KCIC, Rahadian Ratry bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dijalankan dengan skema business to business (B2B). Padahal, kondisi keuangan negara kapitalisme tidaklah kokoh, karena bersumber dari pajak dan hutang, akibatnya ketika ingin membangun infrastruktur besar, jalan yang dipilih adalah dengan mendatangkan investor asing. Dan jelas, kerja sama ini pasti akan disepakati berdasarkan hukum bisnis.

Maka wajar, jika pemerintah sampai mengambil kebijakan  Peraturan Presiden Nomor 93 tahun 2021, tentang perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Dengan aturan baru ini, pembiayaan yang awalnya diklaim tidak menggunakan uang rakyat namun dari investor, berubah memakai dana APBN agar pembangunannya tetap berlanjut. Bahkan akibat kesalahan perencanaan yang menyebabkan pembengkakan biaya membuat konsesi yang awalnya hanya 50 tahun kini menjadi 80 tahun.

"Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan/Pejabat Pemerintahan dengan selain badan dan atau Pejabat Pemerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum atau sumber daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Kondisi demikian bisa berpotensi negara kehilangan kedaulatan atas pembangunan infrastruktur dan layanan fasilitas publik jadi barang komersil yang tidak mudah dijangkau oleh masyarakat. Jadi adanya proyek KCJB ini sejatinya hanya menguntungkan para kapital yang bermain di dalamnya.

Di sisi lain, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) terus mengejar pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang berkali-kali menuai persoalan. Salah satu masalah krusial yakni pembengkakan anggaran yang akhirnya memaksa pemerintah merogoh APBN untuk membiayainya. Saat meninjau proyek di Tegalluar, Bandung pada 13 Oktober 2013 silam, Presiden Joko Widodo menyebut saat ini prosesnya sudah mencapai 88%. Ia pun berharap jalur kereta sepanjang 142 kilometer itu akan mulai beroperasi pada Juni 2023.  

Proyek kereta cepat ini, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), menjadi bagian tak terpisahkan dari gurita bisnis Tiongkok. Pelaksana proyek yakni KCIC merupakan konsorsium yang berisi empat BUMN dan perusahaan Cina. Selama beberapa tahun terakhir, otoritas Cina memang agresif mengembangkan banyak proyek di luar negeri melalui bendera Belt & Road Initiative (BRI), termasuk pembangunan kereta cepat di Indonesia.

Di sinilah kesalahan besar pembangunan infrastruktur dengan paradigma kapitalistik, pelaksanaan pelayanan publik dalam kapitalisme yang menerapkan prinsip, bahwa negara sebagai regulator yang melayani para korporasi maupun para investor bukan melayani rakyat. Maka tak heran, berbagai proyek infrastruktur selalu melibatkan pihak swasta. Efeknya, infrastruktur tersebut hanya menjadi ambisi para investor dan bukan merupakan kebutuhan rakyat. 

Kalau pun dibutuhkan rakyat, namun nyatanya rakyat harus membayar mahal untuk bisa menikmati pelayanan infrastruktur tersebut. Sebab tidak ada investor yang ingin rugi pada keterlibatannya dalam proyek-proyek infrastruktur. Sementara, negara tidak peduli apakah rakyat mampu mengakses infrastruktur tersebut atau tidak.

Pembangunan LRT dan Kereta Api Cepat, telah menambah deretan proyek yang tidak membawa manfaat optimal dan maksimal untuk rakyat. Dana infrastruktur yang dikeluarkan negara cukup besar, namun tidak membuat rakyat makin mudah dan nyaman hidupnya.
Proyek ambisius ini sejatinya hanya sekedar pencitraan yang menambah beban negara. Inilah realitas pembangunan infrastruktur dalam sistem sekuler-kapitalisme yang hanya menyengsarakan kehidupan rakyat. 

Berbeda dengan Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa wajib mengurusi seluruh kebutuhan umat, termasuk pembangunan infrastruktur. Pembangunannya akan berfokus pada kemaslahatan umat, dan memprioritaskan pada penjagaan atas jiwa manusia, bukan demi investor apalagi demi ambisi kekuasaan.
Infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh seluruh manusia, dan termasuk dalam sektor publik. Oleh karena itu, negara wajib menyediakanya bagi seluruh rakyat secara gratis tanpa pungutan biaya. 

Adapun pembiayaan pembangunan infrastruktur karena membutuhkan biaya yang besar, maka semua pembiayaanya dikelola oleh negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing. Sebab hal tersebut bisa menyebabkan penguasaan pihak swasta terhadap sektor publik.

Pembangunan infrastruktur dalam Khilafah akan memperhatikan beberapa hal : pertama, apakah pembangunan infrastruktur tersebut benar-benar dibutuhkan masyarakat atau tidak. Jika terkatagori proyek yang jika tidak ada akan mendatangkan kerusakan bagi umat, maka hal tersebut perlu dikaji dulu.
Jika tidak ada dana Baitul Mal, sementara penundaan proyek akan mengakibatkan kerusakan pada umat Islam, maka pembangunan proyek ini menjadi tanggung jawab bagi kaum muslimin. 

Dalam kitab Al-Amwal fi dawlah al-Khilafah karya Shaykh Abd al-Qadim Zallum, menjelaskan bahwa ada tiga strategi yang dapat dilakukan oleh negara untuk membiayai proyek infrastruktur yang ketiadaanya akan membawa bahaya. Diantaranya yaitu pertama, memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti, minyak, gas, dan tambang. Khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas, dan sumber tambang tertentu agar hasilnya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Kedua, mengambil pajak atau dharibah dari umat (rakyat).
Cara ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal tidak memiliki kas yang bisa digunakan, itupun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital serta hanya diambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu atau kaya.

Selain itu, negara Khilafah harus membangun infrastruktur dengan kualitas terbaik dan memadai, sehingga hajad hidup rakyat dapat terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu, Khilafah akan membangun infrastruktur dengan teknologi mutakhir, bukan pembangunan ala-kadarnya yang mengancam keselamatan nyawa manusia. Dalam sejarahnya, Khilafah telah melakukan pembangunan infrastruktur dengan sangat pesat.

Dr. Kasem Ajram (1992) dalam bukunya "The Miracle of Islam Science, 2nd Edition" memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan di zaman kekhilafahan Islam.
Hanya dengan Khilafah pembangunan infrastruktur bisa terjadi (berjalan) begitu pesat, dengan metode pembiayaan yang mandiri, bakhan hasilnya berkualitas level dunia, serta bisa dinikmati oleh rakyat secara cuma-cuma.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak