Indonesia dan Dilema 'Ayam Lapar' di Lumbung Padi



Oleh: Mirna, M.Pd


Beberapa hari terakhir jagat maya dihebohkan oleh unggahan di platform media tiktok. Terlihat seorang nenek sedang mengguyur badannya dengan lumpur dan mengemis iba secara online. Parahnya sang nenek bahkan sampai pingsan karena kedinginan. seperti disadari bersama Indonesia merupakan salah satu negara penggunaan media tiktok di dunia. Konten-konten menarik minat dan menumbuhkan simpati merupakan salah satua adsen yang menguntungkan bagi kreator. Aktivitas siaran langsung di Tiktok bahkan menjadi yang paling diburu pembuat konten karena bisa mendapatkan gift dari audiens.

Saat siaran langsung, audiens memberikan gift dengan jumlah tertentu. Nah, jenis gift ada macam-macam. Ada yang mawar senilai 1 koin, panda senilai 5 koin, lolipop 10 koin, cermin 30 koin, hati 100 koin, nasi tumpeng 300 koin, mutiara 800 koin, dan bianglala 3.000 koin.
Kemajuan zaman dan tuntutan kehidupan mungkin merupakan alasan mengapa ngemis online dilakukan. Namun dibandingkan prestise, kemiskinan justru menjadi pendorong utama mengapa tindakan “gila” semacam itu dilakukan. Ada banyak penyebab kenapa kemiskinan sulit dientaskan dinegara kita, seperti minimnya lapangan pekerjaan, tingginya harga bahan pokok, inflasi, rendahnya tingkat pendidikan yang semua bermuara pada anjloknya angka pertumbuhan ekonomi. 

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia bisa dikatakan belum berhasil mengatasi masalah inti pembangunan ekonomi. Kesejahteraan yang dijanjikan seolah menjadi angan semata. Belum lagi dua tahun belakang wabah pandemi covid 19 menambah banyaknya PR bangsa ini.

Kasus kelaparan, maal gizi dan putus sekolah menjadi masalah yang hampir tiap hari membayangi wajah negeri ini. Hal ini seolah bertentangan dengan UU Pangan 2012 yang ditetapkan oleh pemerintah bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional, dan tingkat rumah tangga serta individu yang merupakan suatu rangkaian system hirarkis.

Meskipun berdasarkan data BJS angka kemiskinan diperkotaan Indonesia mengalami penurunan, namun hal ini berbanding terbalik dengan jumlah utang negara yang semakin bertambah, dengan kata lain beban utang yang ditanggung oleh tiap warga negarapun bertambah. Tata kelola keuangan negara bisa menjadi salah satu faktor pendorong terhambatnya upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Tindakan pencurian “tikus berdasi” alias korupsi adalah biang utamanya. Berdasarkan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi semester I tahun 2022 saja, ICW mencatat setidaknya terdapat 252 kasus korupsi dengan 612 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangaka dan potensi kerugian negaranya mencapai Rp33,6 Triliun. Selain untuk memetakan kasus korupsi, pemantauan ini juga dilakukan guna melihat kinerja di tingkat penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK. 

Hasil pemantauan ini menunjukkan belum optimalnya penindakan kasus korupsi. Sebab, jika dilihat berdasarkan target yang tertera dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2022, target keseluruhan penegak hukum selama semester I tahun 2022 adalah sebanyak 1.387 kasus di tingkat penyidikan. Artinya, jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang diusut, maka penegak hukum hanya berhasil merealisasikan sebesar 18% dari target atau memperoleh nilai E (sangat buruk).

Keberadaan aparat negara yang tidak amanah, membuat kekayaan alam Indonesia yang melimpah terlihat seperti hembusan angin semata. SDA yang banyak justru menjadi senjata makan tuan bagi anak negeri. Pengelolaan yang hanya memperhatikan keuntungan pribadi membuat investor bebas menggali kekayaan hanya dengan modal suapan dan pemotongan anggaran dengan berbagai macam alasan. Korupsi seolah menjadi budaya bangsa yang menjamur di negeri ini. Wacana pemerintah tentang 0% kemiskinan 2024 seolah hanya mimpi siang bolong yang menguap tanpa kabar. 

Bahkan baru-baru ini anggaran kemiskinan yang didapuk dari APBN sebesar 500 T hilang begitu saja, di telan oleh aktivitas rapat, studi banding dan agenda-agenda lain yang sama sekali tidak memberi dampak nyata pada rakyat. Ketua Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menyebut praktik pemborosan anggaran ini sebagai "praktik lazim di birokrasi kita”. Kasus penggunaan anggaran yang tidak semestinya ini bahkan dianggap lazim di Indonesia. Miris sekali, wajar saja jika ungkapan “ayam kelaparan bahkan mati diatas lumbung padi” menjadi trend negeri ini, karena meskipun dikatakan sebagai zambrut khatulistiwa, tanah susu dan pujian hebat lainnya. Pemerintah tetap belum berhasil bahkan gagal menangani kasus kemiskinan akibat korupsi yang dilakukakn oleh “oknum” yang dipilih dan dipercaya oleh rakyat sendiri.

Meskipun begitu memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Pemerintah. Karena yang menjadi sumber permasalahan utama adalah sistem pengaturan Negara yang tidak tepat atau salah. Sistem yang tidak tepat, mengarahkan alur negara pada jurang kehancuran. Sistem kapitalis yang pro terhadap pemilik modal menjadikan para pengemban amanah negara ini lupa kewajiban utamanya sebagai periayah masyarakat. Mereka malah terfokus pada upaya memperkaya diri (hedonis). Hingga cara pintas pun rela mereka lakukan. Bisa dikatakan sebaik apapun seseorang jika dia berada di sistem yang rusak maka kemungkinan besar orang itupun akan rusak juga. 

Oleh karena sistem yang dipakai merupakan buatan manusia, yang secara harfiah terlahir dengan banyak kekurangan, maka wajar saja jika sistem yang dianut penuh kecacatan. Hingga akhirnya solusi terbaik yang mengatasi delima bangsa ini hanya dengan mengganti sistem pemerintahan yang bukan buatan manusia namun buatan sang Pencipta. Sistem semacam ini membuat Orang didalamnya lebih terjaga karena urutan ketaatan yang utama adalah Tuhan bukan kekuasaan ataupun uang. Sistem ini bahkan sebelumnya telah berhasil menujukkan kejayaanya selama 13 abad lamanya. 

Kesejahteraan dapat diraih melaluinya, keketatan terhadap mafia uang rakyat begitu terasa, hingga masalah kemiskinan bahkan kelaparan jarang terjadi pada sistem ini, sistem yang disebut sistem islam, dengan basis ketaatn terhadap syariat dan ketundukan terhadap perintah dan larangan ALLAH. Wallahu’alam bishshawab.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak