Oleh Alvera
Aktivis Dakwah
Berita mengenai korupsi bagaikan makanan sehari-hari bagi masyarakat yang berseliweran di televisi. Sepanjang 2022 Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung telah melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus besar yang ditangani dan telah dihitung kerugiannya oleh para ahli yang berkompeten di bidangnya. Dari hasil penanganan perkara tersebut, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp. 144,2 triliun. (Neraca.co.id, 04/01/2023)
Korupsi itu sendiri berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam, yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Banyak orang terjerumus melakukan korupsi dengan alasan yang bermacam-macam. Salah satunya adalah tuntutan atau gaya hidup yang hedonisme, serta keinginan untuk memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya. Kebiasaan hidup seperti ini muncul karena sistem kapitalisme sekuler seperti sekarang.
Indonesia pun telah mengikrarkan diri memakai sistem demokrasi sejak masa kemerdekaannya. Pada sistem demokrasi yang hakikatnya hanya nama lain dari sistem kapitalisme sekuler, di mana agama dipisahkan dari kehidupan.
Mempercayakan peraturan negara pada akal manusia yang terbatas, karena suara rakyat adalah Tuhan yang menjadi slogan sistem ini. Oleh karena itu korupsi menjadi masalah yang tak ada habisnya. Tidak pernah menemukan solusi tuntas.
Di mana para pelaku korupsi dalam sistem rusak ini, hanya mendapat hukuman penjara. Kadar waktunya pun tak sebanding dengan tindak kejahatan yang telah merugikan negara begitu besar. Dengan demikian, selama sistem Kapitalisme Sekuler diterapkan maka pemberantasan korupsi hanya sekedar ilusi.
Berbeda dengan Islam, sebagai sebuah aturan kehidupan yang berasal dari Allah. Islam memiliki solusi tuntas yang efektif dalam mencegah tindakan korupsi, bahkan menutup celah adanya keinginan untuk korupsi.
Pertama, penerapan ideologi Islam. Penerapan ideologi ini meniscayakan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk pemimpin negara (khalifah), akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya.
Kedua, memilih penguasa dan pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat, Daulah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadi kontrol awal sebagai penangkal perbuatan maksiat dan tercela. Ketakwaan juga yang akan menjadikan seorang pejabat melaksanakan tugasnya. Para pejabat akan selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Dan ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanaa’ah dengan pemberian Allah Swt. maka pejabat tersebut benar-benar amanah. Karena tujuan hidup mereka hanya untuk meraih ridha Allah Swt.
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’aayah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringantan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Dengan demikian ketika Islam diterapkan sebagai aturan kehidupan, setingkat pejabat yang menjadi wakil rakyat akan tunduk pada syariat. Keimanan pada Allah menjadikan mereka menjalankan amanahnya dengan sungguh-sungguh. Inilah gambaran pemimpin ideal dalam Islam yang akan membawa rakyat pada kebahagiaan dan kesejahteraan.
Wallahu a’lam bishshawab.