Ibadah Haji Dengan Murah Dan Mudah, Hanya Ada Dalam Sistem Islam Kaffah



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Usulan kenaikan biaya haji tahun 2023 yang disampaikan Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas di hadapan Komisi VIII DPR (Kamis, 19/1/2023) menyita perhatian banyak pihak. Tak tanggung-tanggung, usulan kenaikannya hampir dua kali lipat dari tahun lalu, yakni dari Rp 39,8 juta ke Rp 69,1 juta per jemaah. (www.uinjkt.ac.id, 27/01/2023)

Kabar ini tentu sangat meresahkan para calon jama’ah haji. Betapa tidak, harapannya untuk mengunjungi “baitullah” harus tertunda lama akibat masa tunggu dan kondisi pandemi. Sekarang ditambah lagi, mereka masih harus terbebani sejumlah uang yang sangat banyak untuk bisa menunaikan ibadah haji. 

Kalau mau jujur, mahalnya penyelenggaraan ibadah haji, tidak bisa dilepaskan dari pola kapitalis sekuler yang diterapkan di seluruh dunia saat ini, tak terkecuali negeri – negeri muslim.  

Dampak dari penerapan sistem ini, adalah mempengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya untung rugi dalam melayani rakyat. 

Dalam pandangan kapitalisme, ibadah haji adalah ceruk bisnis dan ceruk pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan., termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil. Begitu pula tentang panjangnya antrian haji. Sejak lembaga perbankan berbisnis dana talangan haji, masyarakat yang belum punya uang pun dengan mudah mendapatkan nomor porsi. Hal ini tentu menyebabkan mereka yang benar – benar mampu secara finansial berangkat, akan terhalang dengan masa tunggu yang sangat panjang.

Kondisi ini tentu sangat berbeda dnegan Islam. Dalam catatan sejarah bisa kita baca, betapa besar perhatian dan pelayanan khalifah—kepala negara dalam Khilafah—kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani. Jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.

Untuk mendukung itu semua, khalifah akan mengambil langkah - langkah dalam melayani jemaah haji. 

Pertama, khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilh dari orang-orang bertakwa dan cakap dalam memimpin.
Kedua, jika negara harus menetapkan biaya penyelenggaraan haji, maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci.

Dalam penentuannya, paradigma Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Khilafah juga bisa membuka opsi, yakni rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.

Ketiga, khalifah berhak mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan, kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.

Keempat, khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.

Kelima, khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu, apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.

Keenam, pada masa pandemi atau wabah, Khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga medis yang memadai. Khilafah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.

Demikianlah peran besar khalifah atau pemimpin negara dalam melayani rakyatnya beribadah. Pemimpin seperti ini hanya akan lahir dari sistem yang sempurna. Sistem yang menyadari sepenuhnya, bahwa amanah kepemimpinan, urusannya tidak sebatas dunia. Maka, jika kita sudah merindukan pelaksanaan ibadah haji yang murah, mudah dan merata, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada sistem Islam. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak