Oleh : Ade Irma
Food Estate atau Lumbung Pangan digadang-gadang sebagai solusi dari permasalahan pangan Nasional saat ini.
Food Estate atau Lumbung Pangan adalah sebuah kegiatan budidaya tanaman dalam skala luas diatas 25 hektar (ha), yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, dan manajemen modern.
Tujuan dari food estate ini untuk memenuhi kebutuhan pangan Nasional. Food estate sendiri merupakan Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Namun banyak pihak yang menilai program ini gagal dan adapula yang mengatakan berhasil.
Salah satu Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB sekaligus Associate Researcher CORE Dwi Andreas Santosa menegaskan program food estate atau lumbung pangan nasional adalah pemborosan dan bukan solusi masalah pangan Indonesia.
"Sering kali saya sebut, food estate ini melanggar kaidah-kaidah ilmiah, melanggar 4 pilar pengembangan lahan pangan skala besar, terkait tanah dan agroklimat, infrastruktur, budidaya dan teknologi, serta sosial-ekonomi," katanya dalam CORE Economic Outlook 2023: Harnessing Resilience against Global Downturn, CNN Indonesia (23/11).
Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sudin salah satu yang menyatakan jika program pemerintah itu gagal. Ia mengaku telah mengantongi sejumlah buktinya. Menurutnya, salah satu wilayah yang menemui kegagalan adalah Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
Sebagaimana diketahui, wilayah Humbang Hasundutan merupakan salah satu tempat yang dipilih untuk mengembangkan food estate. Namun, saat ini banyak ladang yang menjadi semak belukar karena ditinggalkan para petani.
Seorang petani bernama Irma Suryani mengatakan bahwa setelah gagal panen mereka tidak lagi memiliki biaya untuk kembali menanam. Walhasil, mereka memilih meninggalkan lahan. Akan tetapi, ia juga mengakui ia mendapat bantuan lahan, bibit, dan pupuk dari pemerintah sebagai modal. Hanya saja, jenis tanamannya ditentukan (bawang putih), padahal jenis itu tidak cocok di lahan sana.
Sementara itu, pihak Kementan (Kementrian Pertanian) mengklarifikasi bahwa wilayah Humbang Hasundutan tidak lagi di bawah pengawasannya. Saat ini, wilayah itu telah dialihkan ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves). Artinya, wilayah tersebut nantinya akan diserahkan ke swasta untuk dikelola. Hal ini terlihat dari upaya pemerintah daerah yang berburu investor, di antaranya adalah PT Parna Raya, PT Indofood, PT Aden Farm, PT Ewindo, PT DSR, PT BISIS, dan PT Champ. (Tempo, 1-2-2023).
Ada empat wilayah yang dijadikan lahan dari food estate ini. Yaitu Kalimantan Tengah (Kalteng), Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Dari keempat wilayah ini belum ada yang menunjukkan hasil yang signifikan untuk menambah pasokan pangan dalam negeri. Walaupun ada pihak yang mengatakan berhasil.
Namun realitasnya banyak para petani yang meninggalkan lahan food estate ini dikarenakan lahan yang tidak sesuai dengan komoditi yang akan ditanam, ditambah lagi kurangnya infrastruktur yang memadai. Petani pun tidak dibimbing secara penuh dalam pengelolaan lahan tersebut.
Jika melihat dari realitas lahirnya permasalahan dari food estate tidak lain karena tidak ada pengkajian awal secara matang yang tidak melibatkan para pakar pertanian di bidangnya. Pemerintah hanya menyediakan program yang terkesan memaksakan harus dijalankan. Padahal pengkajiannya belum matang.
Program ini dinilai gagal karena jika dilihat dari sisi lahan dan komoditi yang ditentukan oleh pemerintah tidak sesuai fungsinya. Contohnya bawang putih di tanam di lahan gambut. Lahan gambut tidak bisa dijadikan lahan pertanian. Karena mengandung asam sulfat tinggi. Gambut berfungsi menyerap karbon dalam jumlah besar, setidaknya 30% karbon dunia harus terserap agar tidak keluar ke atmosfer. Hal ini untuk menjaga bumi dari rusaknya lapisan ozon yang menyebabkan krisis iklim. Jika lahan gambut berubah fungsi menjadi lahan pertanian, bisa dibayangkan karbon yang selama ini disimpan akan dikeluarkan ke atmosfer. Hasilnya, muncul efek rumah kaca, lapisan ozon rusak, terjadi pemanasan global, dan iklim pun berubah jadi tidak menentu.
Gambut juga dapat menyimpan air saat musim hujan dan melepaskannya perlahan saat kemarau. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi manusia.
Minimnya infrastruktur yang memadai, tata cara pengelolaan budidaya dan teknologi. Serta sosial ekonomi. Ditambah lagi negara hanya sebagai fasilitator dan regulator. Sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada investor. Terbukti ketika program food estate ini dipindah alihkan dari Kementerian Pertanian ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves). Ini juga membuktikan adanya kapitalisasi pertanian. Karena negara lepas tanggungjawab dan pengelolaannya diserahkan kepada korporat.
Alih-alih ingin menciptakan ketahanan pangan Nasional. Justru program food estate yang digarap pemerintah menambah pekerjaan yang panjang tanpa menghasilkan progres yang signifikan.
Islam memandang kasus seperti ini tentu tidak perlu terjadi, karena Islam akan menempatkan sesuatu sesuai fungsinya. Lahan gambut, misalnya, berfungsi penting bagi kehidupan sehingga Islam melarang untuk mengubah fungsinya. Mengubah fungsinya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, hal yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Islam juga tidak akan membiarkan kekayaan alam dikuasai swasta, termasuk pertanian. Lahan subur akan dimanfaatkan sebagaimana fungsinya. Begitu pun pembangunan, akan ditempatkan pada lahan tidak subur. Pabrik-pabrik juga akan diatur, tidak boleh menempati lahan untuk pertanian dan akan ada sanksi bagi pelanggarnya.
Masalah food estate butuh alat-alat pertanian yang maju dan memadai. Terkait soal ini, Islam mengatur politik industri bergerak dalam bidang industri berat sehingga negara akan mandiri mengadakan alat-alat pertanian dan tidak bergantung pada asing.
Negara juga akan melakukan penelitian untuk mengembangkan pertanian sehingga rakyat tidak terpaku pada pertanian konvensional.
Anggaran yang dipakai untuk pengelolaan food estate juga harus sesuai syariat Islam. Seluruh pembiayaannya akan diambil dari Baitulmal, bukan dari investasi yang melanggar syariat atau hasil pinjaman riba.
Dengan menjalankan solusi Islam secara paripurna, program food estate untuk rakyat akan memenuhi harapan. Bukanlah sebuah hal yang utopis jika diatur dalam sistem Islam yang paripurna. Wallahualam.
Tags
Opini