Oleh : Afid
Dikutip dari berita tempo, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan ada lebih dari Rp 1 triliun dana hasil tambang ilegal yang mengalir ke partai politik. Uang tersebut tidak lain untuk pembiayaan pemilu 2024. PPATK menemukan aliran dana tambang ilegal tersebut ketika sedang meriset persiapan pemodalan pemilu. Kasus ini diperkirakan sudah terjadi sekitar 2 tahun yang lalu dengan nilai triliunan. Sejumlah transaksi tersebut melibatkan para terdakwa dalam skema tindak kejahatan lingkungan, kemudian terungkap bahwa uang tersebut mengalir kepada pihak-pihak yang akan mengikuti kontestasi politik untuk pemenangan pemilu 2024 (www.bisnis.tempo.co).
Kepala PPATK mengatakan temuan ini bukan hal baru. Sebab, pada pemilu-pemilu sebelumnya sudah menemukan aliran dana kejahatan lingkungan masuk ke partai politik. Kejahatan lingkungan tersebut meliputi tambang ilegal, pembalakan hutan secara liar, dan penangkapan ikan ilegal (www.republika.co.id). Kementerian ESDM mengusulkan pembentukan direktorat jenderal penegakan hukum sebagai upaya pemerintah memberantas pertambangan ilegal yang sedang diperbincangkan masyarakat (www.cnbcindonesia.com).
Temuan aliran dana dari tambang ilegal untuk kontestasi pemilu 2024 telah menunjukkan bobroknya sistem demokrasi yang menjadikan uang sebagai kekuatan dalam memenangkan kontestasi politik. Hal ini juga adanya politik transaksional dan mahalnya biaya politik dalam sistem demokrasi. Bahkan ketua komisi II DPR ahmad doli kurnia memperkirakan biaya pemilu 2024 serentak bisa mencapai Rp 150 triliun, ini belum lagi modal politik setiap calon yang terjun pada pilkada mulai dari mahar politik dan mendapat partai pengusung setiap calon, mendanai tim pemenangan serta biaya kampanye (www.nasional.kompas.com).
Sayangnya, besarnya biaya politik ini tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh yakni bukanlah terpilih pemimpin yang berkualitas tetapi setiap calon yang memiliki modal besar. Bahkan kepala daerah hasil pilkada banyak yang terjerat kasus korupsi. Hal ini menunjukkan kapasitas dan kapabilitas calon tidaklah penting dalam sistem demokrasi. Hal ini membuktikan bahwa nasib rakyat bukanlah hal yang utama.
Sungguh berbeda dengan paradigma Islam, rakyat sebagai fokus utama dalam pengurusan penguasa bahkan kapabilitas adalah hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin setelah ketaatannya pada Allah dan rasulNya. Dalam fikih Islam, cukup rinci mengatur pemilihan Khalifah. Calon Khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariat. Kepala negara harus laki-laki, muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai Khalifah dengan menerapkan syariat Islam dengan benar.
Tugas dan wewenang Khalifah juga dibatasi syariat hanya menerapkan hukum Allah secara kaffah. Khalifah tidak memiliki wewenang membuat hukum. Membuat hukum hanyalah milik Allah swt. maka suatu hal yang wajar, pemilu dalam sistem Islam tak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya cukup sederhana. Tak perlu adanya kampanye, pasang baliho, dana relawan, atau obral janji.
Sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur layak, harga sembako terjangkau, pembatasan impor, dan lainnya. Itulah kewajiban Khalifah, siapapun orangnya. Demikianlah, pemilu dalam Islam tidak membutuhkan kampanye yang berbusa-busa. Khalifah adalah pelayan umat, tak ada tempat bagi Khalifah menumpuk kekayaan. Khalifah tidak akan digaji, tapi hanya mendapatkan santunan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Khalifah telah dibaiat untuk memberikan seluruh hidupnya mengurusi urusan umat dan menerapkan syariat kaffah. Dia terhalang untuk berbisnis, bila ingin berbisnis menjadi pengusaha solusinya bukan menjadi Khalifah. Oleh karena itu menjadi pemimpin dalam Islam bukan perkara yang mudah sebab ia akan mengemban amanah yang dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Biaya pemilihan murah dalam Islam, akan menutup segala celah terjadinya upaya mencari dana dengan cara haram sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Sistem politik inilah yang akan menyejahterahkan seluruh umat yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Wallaahu A’lam
Tags
Opini