Oleh Nurmaya
(Aktivis Remaja Andoolo)
Kasus yang sangat menyayat hati, ketika anak menjadi pelaku pemerkosaan terhadap anak lain. Kasus ini, tamparan keras bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan tentu saja negara.
Dikutip dari liputan6 (20/1/2023), kasus pemerkosaan seorang siswi TK oleh 3 orang bocah SD terjadi di Mojokerto.
Kasus ini bukanlah kali pertama. Perilaku rusak pada anak tentu ada kaitannya dengan pengasuhan orang tua. Pengasuhan yang tepat tentu membutuhkan ilmu yang tepat pula. Faktanya, saat ini negara belum memberikan bekal yang cukup untuk calon orang tua, baik dalam kurikulum pendidikan maupun bimbingan calon pengantin menjelang pernikahan.
Orang tua dan masyarakat dalam sistem ini tidak menjalankan fungsi! pengasuhan sebagaimana mestinya. Seorang anak gadis dibiarkan pergi dengan teman laki-lakinya, perempuan berteman dengan laki-laki, menjadi kebebasan yang tak kenal batas, jika ada laki-laki dan perempuan nonmahram berduaan, orang tua dan masyarakat menganggap hal biasa, melarang dan menasihati pun tidak. Begitu pula negara tidak memberikan sanksi dan pendidikan bahkan negara seolah-olah mendukung.
Kemudian pendidikan saat ini berorientasi menjadikan peserta didik sebagai tenaga kerja. Apalagi, dengan derasnya kampanye kesetaraan gender, calon ibu justru didorong untuk menjadi pekerja dari pada disiapkan menjadi ibu. Kurikulum pendidikan makin menjauhkan pemahaman terhadap agama, sehingga tidak mampu menguatkan akidah anak-anak. Terlebih dengan masifnya moderasi beragama.
Selanjutnya negara abai terhadap transformasi digital. Pesatnya informasi digital juga berdampak buruk dikarenakan menayangkan banyak tontonan yang menimbulkan syahwat seperti pornografi dan pornoaksi yang membawa anak ke jalan yang salah karena mengikuti hal bodoh hasil tontonannya.
Dari berbagai faktor tersebut tampak nyata penyebab utama adalah kesalahan negara dalam mengurus rakyatnya. Hadirnya negara untuk memberikan regulasi berupa mengkondisikan individu tetap taat pada aturan Allah, namun tidak terlaksana. Semua bidang kehidupan, baik pendidikan, ekonomi, media, maupun yang lainnya memberikan dampak buruk terhadap kehidupan rakyat, termasuk pemikiran dan perilaku. Tata kehidupan menjadi rusak dan bahkan merendahkan martabat kemanusiaan. Siswa sekolah dasar yang masih dibawa umur melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur pula adalah bukti nyata rusaknya tata kehidupan saat ini.
Negara tidak serius menindak kasus-kasus yang demikian. Jika negara ingin serius menangani dan menuntaskan kasus pelecehan dan kekerasan seksual, khususnya di kalangan remaja bahkan anak yang masih di bawah umur. Maka pemerintah akan menerapkan hal-hal berikut:
Pertama, membangun asas kehidupan bernegara berdasarkan akidah Islam yang menerapkan syariat Islam secarah menyeluruh, bukan setengah-setengah.
Kedua, menutup rapat semua pintu-pintu yang dapat meningkatkan syahwat dan seksualitas, baik yang berupa tontonan, bacaan, maupun tayangan. Sehingga tidak dapat menimbulkan tindak pelecehan dan Kekerasan.
Ketiga, memberi sanksi tegas kepada pelaku pemerkosaan, pelecehan, sehingga mampu membuat jera para pelaku kriminalitas tersebut.
Terakhir, negara membangun ketakwaan individu setiap rakyat dan mendorong untuk selalu taat dalam menjalankan perintah dan larangan Allah Swt.
Namun, empat hal ini hanya dapat diterapkan jika adanya negara menerapkan Islam kafah. Sistem yang membendung perilaku pelecehan seksual serta akan menutup pintu-pintu maksiat. Seorang anak harus dibekali akidah yang kuat, ilmu yang luas, karena ditangan anaklah, ditangan pemudalah maju dan mundurnya suatu bangsa dan peradaban.
Dalam sistem Islam memiliki aturan yang lengkap, sempurna, paripurna, dan sifatnya mencegah tindakan yang melanggar aturan Allah Swt. sehingga membawa kepada kemuliaan In Sya Allah. Sedangkan sistem kapitalisme-sekuler, bersifat menjunjung tinggi kebebasan. Sungguh sistem ini tak layak dijadikan suatu sistem yang mengatur kehidupan.
wallahu a'lam bishawwab