Waspada Jebakan Rentenir Gaya Baru Yang Bernama Paylater




Oleh : Ummu Hafidz
Pemerhati Keluarga


E-Wallet atau dikenal dengan istilah dompet digital merupakan salah satu perkembangan teknologi digital di sektor keuangan. Salah satu produk yang justru banyak digandrungi oleh generasi milenial saat ini adalah metode pembayaran melalui Paylater atau bayar nanti. Hasil survei Katadata Insight Center dan Kredivo terhadap 3.560 responden pada Maret 2021 menunjukkan pengguna aplikasi Paylater meningkat 55% semenjak pandemi. Sebanyak 16,5% pengguna milenial, sedangkan Gen Z berkisar di angka 9,7% (bbc.com, 29/12/2022).
Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia (Redaxi) Irmawati Puan Mawar menjelaskan, skema Paylater mirip dengan kartu kredit yang memberikan batas berbelanja. Namun, skema ini memberikan jaminan yang lebih rendah dari kartu kredit sehingga mampu menarik minat konsumen. Selain itu, kelebihan yang ditawarkan Paylater adalah kemudahan transaksi, cepat, dan efisien. Umumnya, kalangan milennial membeli gawai (ponsel atau laptop) dengan menggunakan fitur Paylater, sementara gen Z menggunakannya untuk membeli produk mode dan aksesoris (digitaldonat.republika.co.id, 15/11/2022).
Belakangan ini mulai banyak kasus yang bermunculan akibat dari penggunaan fitur Paylater yang berakibat gagal bayar. Sebagian besar pelakunya adalah Generasi muda yang melakukan transaksi melalui Fitur ini dengan alasan metode ini adalah alternatif bagi orang-orang yang belum mempunyai penghasilan untuk mengakses kredit. Penyaluran kredit jenis ini pun banyak tertuju pada sektor konsumtif yang justru dijadikan peluang oleg para rentenir untuk menjerat mangsanya.
Salah satu pengguna dari kalangan mahasiswa menceritakan bahwa ia terlena dengan kemudahan proses yang dilakukan dalam memperoleh dana secara cepat. Ia dapat membeli apa pun, tetapi akhirnya tagihannya makin besar karena ada tunggakan utang, bunga, dan denda jika telat bayar. Pengguna lain bahkan harus rela menjual mobil dan barang lainnya untuk membayar tagihan. Lebih parahnya, ia bahkan tidak mampu membayar cicilan rumah gara-gara memanfaatkan aplikasi Paylater.
Jika Kita melihat kemudahan yang diberikan oleh fitur Paylater memang terkesan memberikan manfaat. Namun melihat banyaknya masalah yang ditimbulkan setelah penggunaan fitur tersebut, apakah benar faktanya Paylater memberikan manfaat? Paylater memiliki cara kerja di mana konsumen membeli barang atau jasa di merchant yang menyediakan fasilitas ini. Konsumen memiliki tenor pembayaran sesuai kebutuhan, misalnya 30 hari sampai 12 bulan. Konsumen kemudian akan melakukan pembayaran secara berkala sesuai tenor dan suku bunga yang diberlakukan. Namun, apabila tidak cermat dan boros, akan menimbulkan tumpukan utang yang berujung pada kasus gagal bayar dengan risiko terburuk berupa teror oleh debt collector (penagih utang).
Fenomena jebakan Paylater pada generasi muda ini menandakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol diri. Mereka menyukai sesuatu yang serba instan dan kerap kali mudah terjebak pada penawaran yang kelihatannya mudah. Pada kesempatan ini, para kapitalis mencari celah untuk selalu meraup untung, salah satunya dengan menggunakan perkembangan teknologi. Dalam kemajuan dunia digital, mereka membuat aplikasi pinjaman untuk menarik nasabah sebanyak-banyaknya. Jadi, demi mendapatkan banyak pelanggan, mereka mempermudah persyaratan pengajuan Paylater yaitu cukup dengan verifikasi data dan persetujuan pengguna.
Keadaan ini semakin diperparah dengan negara yang memfasilitasi pinjaman dengan skema jebakan utang dengan berbagai alasan, seperti sudah terdaftar di OJK, bunga rendah, tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya. Mereka berdalih transaksi semacam ini justru akan memudahkan konsumen untuk membeli barang yang diinginkan walaupun kondisi ekonomi terbatas. Padahal nyatanya jeratan utang akan membayangi masa depan para nasabah. Jika didalami lagi, sesungguhnya konsep pinjaman semacam Paylater malah semakin membuat kelimpungan masyarakat yang tidak memiliki uang cukup untuk membeli sesuatu. Dalam kapitalisme, hal ini adalah jebakan bagi para nasabah dan kesempatan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kita bandingkan aturan saat ini dengan aturan Islam yang memiliki visi misi jelas dalam merancang kepribadian Muslim. Seorang muslim wajib berpola pikir dan bersikap sesuai dengan Islam. Oleh karenanya, pemerintahan Islam akan mengondisikan masyarakatnya hidup dalam sistem Islam sekaligus membentuk mereka menjadi berkepribadian Islam. Dengan sistem hidup sesuai dengan Islam, pemuda akan terhindar dari jebakan yang membahayakan ini. Pemuda terjamin hidupnya juga pendidikannya, aman dari godaan pola hidup hedonis atau konsumtif dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk menghantarkannya menjadi insan mulia. Mereka akan membeli sesuatu sesuai kebutuhan, bukan sekedar keinginan, termasuk ketika bertransaksi pinjam-meminjam.
Terkait fitur, aplikasi, program dan sebagainya, Islam akan mengatur sesuai pandangan Islam, misalnya tidak boleh ada unsur riba, akad pinjam meminjam harus jelas, tujuannya tidak boleh melanggar syariat. Islam pun menegaskan pinjam-meminjam hanya dilakukan untuk tolong menolong, bukan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, kepada para generasi muda, hendaknya jangan mudah terbawa gaya hidup “buy now, paylater”. Pemuda perlu memiliki pijakan kuat, yaitu akidah Islam. Sehingga lahirnya dalam diri mereka kepribadian Islam yang akan menjadi perisai dari gempuran gaya hidup hedonis dan konsumtif. Namun, untuk mewujudkan itu perlu adanya sistem yang mendukung dan sinergi yang baik antara orang tua, lingkungan masyarakat, sekolah, dan negara. Insyaa Allah itu semua bisa diwujudkan dengan penerapan aturan Islam secara sempurna oleh sebuah institusi politik, yaitu negara Islam di dalam kehidupan.
Wallahua’lam Bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak