Usulan Biaya Haji Naik Saat Ekonomi Tak Baik, Kapitalisasi Ibadah?



Oleh : Ummu Hadyan


Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mengumumkan biaya asuransi komprehensif untuk jamaah umrah asing akan diturunkan 63 persen dari 235 riyal atau setara Rp942 ribu menjadi 87 riyal atau Rp349 ribu.

Sebelumnya, Saudi juga mengumumkan biaya paket haji pada 2023 lebih murah dari tahun sebelumnya. Perwakilan Kementerian Haji dan Umrah untuk Layanan Haji dan Umrah, Amr bin Reda Al Maddah, mengatakan paket haji tahun ini 30 persen lebih murah dibandingkan tahun 2022. Namun, ia tak menjelaskan lebih rinci apakah paket haji tersebut berlaku untuk semua jemaah, baik internasional maupun domestik.

Berdasarkan laporan Gulf News pada 15 Januari 2023, Al Maddah hanya mengatakan kategori domestik dibagi berdasarkan perusahaan penyedia layanan. Karena itu, program ini akan diputuskan sesuai jenis layanan yang tersedia di kamp.

Sementara itu, Kementerian Agama Indonesia mengusulkan biaya haji yang dibebankan kepada jemaah naik menjadi Rp69 juta, naik dari Rp39 juta pada tahun sebelumnya. Usulan pemerintah ini menuai kritik dari berbagai pihak mulai dari DPR hingga organisasi masyarakat Islam. Beberapa menilai jumlah itu memberatkan masyarakat. (www.cnnindonesia.com 22/01/2023)

Kenaikan biaya ini tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen negara memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah. Kenaikan biaya justru menimbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah, di mana negara mencari keuntungan dari dana haji rakyat.

Sangat nampak pelayanan penguasa Kapitalisme dalam mengurusi masalah ibadah kaum muslimin hanya berorientasi pada bisnis. Hal ini tentu berbeda dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem Islam.

Penguasa dalam sistem ini adalah pelayan umat (khadimul ummah). Setiap kebijakan mereka senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyatnya termasuk perkara ibadah.

Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat, wajib dan rukun haji, Khilafah juga akan memastikan masalah hukum Ijra'i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah.

Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah menjelaskan bahwa prinsip dasar negara Khilafah mengatur masalah managerial adalah sistem yang sederhana, eksekusi nya cepat, dan ditangani oleh orang yang profesional.

Karna itu sebagai satu negara yang menangani lebih dari 50 negeri kaum muslimin, Khilafah akan mengambil kebijakan berupa :

Pertama, Membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Tugas departemen ini mengurus persiapan, bimbingan,pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. 

Dalam melaksanakan tugas itu departemen haji akan bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jama'ah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.

Kedua, Ongkos naik haji atau ONH ditentukan bukan dengan paradigma bisnis seperti penguasa Kapitalisme saat ini. Besar kecil nya biaya ditentukan berdasarkan jarak wilayah para jama'ah dengan tanah haram yakni Makkah dan Madinah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Khilafah akan menyediakan opsi rute baik dari darat, laut dan udara, dengan konsekuensi biaya yang berbeda.

Ketiga, Penghapusan visa haji dan umrah. Negara Khilafah merupakan satu kesatuan dari negeri negeri kaum muslimin, sehingga untuk melakukan berkunjung dari satu wilayah ke wilayah lain hanya perlu menunjukkan kartu identitas yaitu KTP atau paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslimin yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi maupun fi'lan.

Keempat, Pengaturan kuota haji dan umrah. Khilafah akan menggunakan database warga negaranya untuk menentukan urutan prioritas pemberangkatan ibadah haji. Dalam hal ini Khilafah akan memperhatikan 2 hal yakni, pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup, kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan mampu.

Kelima, Pembangunan infrastruktur Makkah Madinah untuk semakin memudahkan para tamu Allah dalam beribadah. Diantara bukti nyata pengaturan Khilafah dalam mengurus ibadah haji terlihat dalam kebijakan Sultan Hamid II, seorang Khalifah pada masa Utsmaniyah, beliau membangun sarana transportasi massal berupa jalur kereta api yakni Hijaz rail way, dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jama'ah haji.

Bahkan jauh sebelum Khilafah Utsmaniyyah, seorang Khalifah Abbasiyyah yakni  Harun Al Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijjaz. Dimasing masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Tidak hanya itu, Khalifah Harun Al Rasyid juga memiliki kebiasaan menghajikan 100 orang ulama dan anak anak mereka bila beliau naik haji. Jika ia sedang berjihad sehingga tidak berangkat haji maka ia menghajikan 300 orang ulama dan anak anak mereka. Dan semua itu berasal dari harta pribadi  Khalifah.

Inilah secuil praktek sejarah Islam dalam melayani para tamu Allah yang tidak akan bisa diwujudkan dalam sistem Kapitalisme saat ini. Wallahu a'lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak