Oleh : Nurfillah Rahayu
( Forum Literasi Muslimah Bogor)
Pandemi covid -19 yang telah terjadi selama beberapa tahun belakangan ini telah melahirkan beberapa kebijakan. Salah satunya yaitu PPKM ( Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang pemerintah lakukan, namun statusnya telah dicabut.
Dilansir dari voaindonesia.com ( 30 Desember 2022 ) Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Jumat (30/12). Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan meskipun PPKM telah dicabut, saat ini Indonesia masih berstatus pandemi COVID-19.
Menurut Syahril, belum berakhirnya pandemi COVID-19 sesuai dengan pernyataan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut WHO, yang terlihat saat ini, baru tanda-tanda awal berakhirnya pandemi.
“Untuk itu kita tetap waspada. Suatu saat. Pada masa pandemi ini, bisa muncul subvarian baru yang bisa memicu kenaikan lonjakan kasus,” ucapnya.
Pemerintah mencabut PPKM karena kasus Covid 19 telah terkendali, namun Indonesia masih dalam kondisi pandemi dan memerintahkan tetap menggunkan masker dan vaksinasi.
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan kasus Covid 19 di Jepang dan China. Namun, Indonesia tidak melakukan syarat khusus untuk turis dari China.
Kebijakan ini Bisa jadi untuk menggerakan ekonomi. Namun melihat resiko yang masih ada, dan berbagai kebijakan yang menyertai juga harus semakin mandiri dalam mencegah penularan, mendeteksi gejala, dan mencari pengobatan, justru menunjukkan bentuk lepas tangan pemerintah atas nasib rakyatnya.
Berbeda dalam sistem Islam yaitu Khilafah.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).
Pemimpin harus benar-benar berupaya sekuat tenaga mencurahkan segala potensi yang ada. Tampilnya seorang memimpin dalam ikthiar penyelesaian wabah merupakan bagian dari amanah Allah SWT yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Di antara maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah) adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa. Islam mengajarkan bahwa nyawa manusia harus dinomor satukan. Oleh karena itu, pembunuhan dianggap sebagai dosa besar dan pelakunya mendapat sanksi yang sangat berat, yaitu qishash. Bahkan terkait dengan nyawa,
Rasulullah saw bersabda,
“Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa haq.” (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).
Dengan demikian dalam pandangan Islam, nyawa manusia harus diutamakan, melebihi ekonomi, pariwisata, atau pun lainnya.
Aturan yang telah diputuskan oleh Imam (Khalifah) yang dibaiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya wajib ditaati. Masyarakat yang taat bukan hanya akan terhindar dari wabah sehingga mata rantai wabah segera berakhir, tetapi mereka juga mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT karena taat kepada pemimpin Islam.
Sebaliknya, melanggar keputusan imam (khalifah) adalah perbuatan maksiat yang akan mendapatkan siksa dari Allah SWT, seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT yaitu :
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(Terjemahan QS an-Nisa ayat 59).
Konsep seperti ini tidak akan ditemukan kecuali hanya di dalam Islam, yakni di dalam sistem Khilafah.
Wallahu a’lam Bishowab