Ditulis oleh: Sri Wahyu Anggraini, S.Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Produk Masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 Oktober 2024. Setelah itu, semua produk harus sudah bersertifikasi halal.
Kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menyebut ada tiga kelompok produk yang wajib bersertifikasi halal pada 2024. Jika tidak, Kemenag bakal menjatuhkan sanksi kepada para pelaku usaha yang menjual ketiga produk ini tanpa sertifikat halal. Tiga produk itu yakni; makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan minuman; serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
"Kalau belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya," kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham, dalam keterangan tertulisnya,(cnnindonesia.com/08/01/2023)
Keputusan Kepala BPJPH No 141 tahun 2021 ini merupakan tindak lanjut dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan BLU BPJPH yang telah diundangkan pada 4 Juni 2021. Regulasi ini juga sebagai tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Pnetapan peraturan tarif layanan juga wujud komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian tarif serta transparansi biaya layanan sertifikasi halal di Indonesia," jelas Aqil Irham. "Ini juga komitmen pemerintah untuk hadir dalam memberikan kenyamanan, keamanan, dan kepastian atas ketersediaan produk halal untuk seluruh masyarakat di Indonesia," sambungnya. (Kemenag.go.id/16/03/2022)
Sertifikasi halal seharusnya menjadi layanan negara untuk melindungi rakyatnya sebagaimana kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Negara sudah semestinya melakukan berbagai cara untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal.
Tapi sayangnyadalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini sertifikasi halal jadi komoditas yang di kapitalisasi dengan biaya yang ditentukan. Pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikasi halal sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Namun karena faktor ekonomi dan materialistik, negara yang menerapkan sistem Kapitalisama kepada rakyat yang digunakan sebagai sarana sasaran pemalakan dengan berbagai cara. Penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal memang nyata-nyata telah membuat umat hidup dalam kesempitan. Kehalalan dan keharaman bercampur di dalam banyak hal, dan tidak jarang sangat sulit dibedakan.
Inilah watak negara demokrasi. Para pemangku jabatan cenderung lebih rela mengorbankan kebutuhan rakyatnya demi keuntungan yang akan mereka dapat dari para pemilik modal. Merekapun abai dengan apa yang seharusnya menjadi kewajiban mereka terutama dalam mengawasi dan menyediakan produk halal demi terjaminnya ketaatan rakyatnya atas urusan agama mereka.
Padahal, dalam Islam sudah sangat jelas mengatur urusan halal dan haram. Aturan tersebut menjadi hal yang mendasar yang harus ditaati oleh umat Islam. Dalam Islam, kehalalan suatu produk menjadi prioritas utama, yang ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya Q.s : An-Nahl ayat 114:
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلٰلًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."
Halal dan haram merupakan ketentuan Allah. Mengonsumsi makanan halal adalah hal yang sangat penting bagi umat muslim. Memberikan keberkahan dalam hidup. Baik dari segi cara memperoleh makanan tersebut, mau pun dari segi kehalalan dzatnya. Itu akan mendatangkan ridho Allah dan tersebab terkabulnya doa kita.
Ada istilah Al-Bathnu ash ad-da’i (perut itu pangkal penyakit) maka mencegahnya adalah pangkal obat. Menjadi kewajiban bagi negara untuk melindungi kepentingan rakyat, termasuk dalam urusan perut. Makanan halal adalah salah satu bagian dari syariat Islam. Firman Allah Taala
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يٰٓأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِى الْأَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۚ
, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS Al-Baqarah: 168)
Para ulama membagi makanan halal dari dua aspek, pertama cara memperolehnya dan kedua dari zatnya. Bila cara memperolehnya dengan cara halal dan zatnya juga halal, status makanan tersebut adalah halal. Halal atau tidaknya makanan yang dikonsumsi seorang muslim sangat berpengaruh bagi seorang muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR Tirmidzi)
Oleh karena itu, Islam memiliki langkah-langkah melindungi umat dari produk haram. Pertama, membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Sertifikasi halal tidak bermanfaat jika umat Islam sendiri tidak peduli dengan kehalalan produk yang dikonsumsi.
Kedua, dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar di masyarakat. Mendirikan lembaga pengkajian mutu, membantu pemerintah dan publik mengontrol mutu juga kehalalan berbagai produk.
Ketiga, negara harus mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan barang. Negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi kepada para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram pun akan dikenai sanksi sesuai nas syariat.
Maka, negara harus berperan dalam mengawasi beredarnya produk halal diantara rakyatnya. Dalam Negara Islam kehalalan produk yang beredar di pasar sangat dijaga. Semua produk yang beredar di masyarakat dipantau langsung oleh negara. Sehingga seluruh warga negara Islam dapat mengkonsumsi makanan halal ataupun memproduksi makanan yang halal bukan didasari karena asas keuntungan. Karena ketaatanlah yang menjadi kunci dimana akan melahirkan kebijakan yang sesuai dengan syariat Islam demi kemaslahatan bersama.
Waallahu'alam bishowab.
Tags
Opini