Sertifikasi Halal adalah Kewajiban Negara




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Produk-produk yang tidak mengantongi sertifikat halal bakal terkena sanksi pada tahun 2024 mendatang. Hal tersebut ditegaskan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
BPJH menegaskan bakal memberikan sanksi kepada para pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal untuk produk-produknya pada 2024.

"Oleh karena itu, sebelum kewajiban sertifikasi halal tersebut diterapkan, kami mengimbau seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya," ujar Kepala BPJPH Kemenag Aqil Irham di Jakarta, Sabtu (7/1/2023).

Aqil mengatakan masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut.

Aqil Ihram menjelaskan bahwa ketentuan tarif layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha (self declare) dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) atau tidak dikenai biaya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Pembebanan biaya layanan permohonan sertifikasi halal dengan pernyataan pelaku usaha berasal dari APBN, APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, pembiayaan dari dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

“Untuk tahun 2021, besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00,” ujarnya. Jumlah ini diperuntukan untuk komponen pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen dan penerbitan sertifikat halal (Rp25.000,00), untuk komponen supervisi dan monitoring oleh lembaga pendampingan PPH (Rp25.000,00), untuk komponen insentif pendamping PPH (Rp150.000,00), dan untuk komponen sidang fatwa halal MUI (Rp.100.000,00).

https://www.beritasatu.com/news/1015795/hatihati-produk-tak-bersertifikat-halal-bakal-kena-sanksi

Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Namun dalam sistem kehidupan kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini, sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan. Pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal, sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah subhanahu wata'ala. Namun karena faktor ekonomi dan materialistik. Inilah wajah negara dengan sistem kapitalisme yang selalu menjadikan rakyat sebagai sasaran pemalakan melalui berbagai cara.

Ini tentu berbeda, dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Dalam Islam, negara berfungsi serta berperan sebagai penjaga dan pelindung umat, sehingga negara akan hadir di tengah-tengah umat untuk menjamin kehalalan setiap produk yang beredar bukan justru menjadi pelaku bisnis seperti yang terjadi saat ini.
Artinya, kehalalan semua produk yang dikonsumsi warga negara merupakan tanggung jawab negara yang didorong oleh ketaatan pada Allah swt. Akidah Islam yang jadi dasar negara Islam (Khilafah) menjadikan semua urusan termasuk makanan dan minuman diatur dengan syariat Islam.

Negara tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga mendanai setiap upaya menjamin produk halal di tengah masyarakat.
Dalam Islam, jaminan kehalalan setiap produk akan ditentukan bahkan dari awal mulai pembuatan bahan, proses produksi, hingga distribusi akan senantiasa diawasi. Semua itu dikerjakan, dikontrol, dan diawasi para ahli dan ulama agar semua produk yang dikonsumsi masyarakat benar-benar terjamin kehalalannya.

Bahkan Islam akan mensterilkan bahan haram dari pasar agar tidak membuat masyarakat bingung dalam membedakan halal dan haram. Khilafah menempatkan seorang hakim (qadhi) untuk melakukan patroli dan menyelesaikan permasalahan di pasar. Termasuk mencegah pedagang menjual barang haram pada kaum muslim. Khilafah juga akan memberlakukan sanksi tegas sesuai ketetapan syariat Islam, yakni melalui ta'zir.

Setiap rakyat boleh mengadukan perkara ke "Mahkamah Mazhalim" atas penguasa yang mengizinkan produk haram dijual bebas baik keberadaannya sebagai wali ataupun Khalifah. Rakyat mengadukan kezaliman ini kepada Mahkamah Mazhalim agar memutuskannya dan menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Dalam hal makanan, alhu dzimah atau orang kafir yang menjadi warga Khilafah berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.
Menurut Abu Hanifah, "Islam membolehkan ahlu dzimah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat,"

Selama hal tersebut dilakukan dalam ranah pribadi dan tidak dilakukan di kehidupan umum, maka Khilafah tidak akan mengusik perilaku mereka. Namun jika ahlu dzimah membuka toko yang menjual bebas produk haram, maka akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam. Penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan sejatinya akan memberikan rasa tenang di dalam jiwa seluruh penduduk rakyat Khilafah. Sebab, umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak