Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan masjid maupun rumah ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik maupun lainnya. Ini disampaikan Ma'ruf usai adanya pengibaran bendera salah satu partai politik di wasjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat.
"Saya pikir itu sudah ada aturannya ya, bahwa tidak boleh kampanye di kantor pemerintah, di tempat-tempat ibadah, dan di tempat pendidikan. Itu saya kira sudah ada (aturannya)," ujar Ma'ruf dalam keterangan persnya usai menghadiri acara Haul ke-51 K.H. Tubagus Muhammad Falak Abbas bin K.H. Tubagus Abbas di Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan, Bogor, Sabtu (07/01/2023) malam. Republika.co.id).
Karena itu, seluruh partai politik peserta pemilu harus menaati undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang di dalamnya menjelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye.
Satu tahun mendatang, memang dirancang sebagai tahun pemilihan kembali penguasa negeri nomor satu atas negeri ini. Sebagaimana paslon-paslon sebelumnya, mereka mulai menggeliat mendulang suara masa melalui kampenye ilegal. sebab jika mereka tidak mendapatkan suara terbanyak, mereka akan kalah dalam kontestasi pemilihan. Untuk itu, mereka melakukan berbagai upaya agar mendapat suara sebanyak-banyaknya termasuk memanfaatkan masjid.
Umat Islam seharusnya menyadari, fungsi masjid yang sebenarnya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. pada masa kepemimpinan beliau, sebagai kepala negara Islam di Madinah, masjid Nabawi tidak hanya digunakan sebagai tempat shalat dan ibadah, namun juga untuk mengurusi kepentingan kaum muslimin. Dalam sirah tercatat, setidaknya ada 10 fungsi masjid pada zaman Nabi saw. Yakni sebagai tempat ibadah ritual, seperti shalat, zikir, tilawah al-Quran), tempat konsultasi dan komunikasi umat tentang berbagai persoalan kehidupan, tempat pendidikan, tempat pembagian zakat, ghanimah, sedekah, dan lain-lain, tempat Rasulullah saw berdiskusi dengan para sahabat mengenai strategi perang dan bernegara, tempat latihan militer perang, tempat pengobatan dan perawatan para korban perang, tempat pengadilan sengketa, tempat menahan tawanan dan pusat penerangan Islam.
Saking pentingnya fungsi masjid untuk eksistensi sebuah negara Islam, Rasulullah saw meruntuhkan bangunan masjid di Dzu Awan, sebuah daerah satu jam perjalanan dari Madinah. Bangunan ini disebut kaum munafik sebagai masjid. Namun faktanya tidak difungsikan untuk membangun ketakwaan, tetapi malah untuk memecah belah umat dan menyebarkan kemunafikan di tengah-tengah kaum muslimin. Fungsi masjid seperti ini tidak berubah hingga kepemimpinan setelah Nabi Muhammad wafat yang disebut Khilafah Islamiyah.
Para Khalifah mendirikan masjid-masjid di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Fungsi masjid ini juga tidak banyak berbeda dengan fungsi masjid di Madinah. Aktifitas demikian merupakan definisi mengurusi kepentingan kaum muslimin, yang di dalam fiqih Islam disebut dengan politik (as-siyasah).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, halaman 1 menjelaskan bahwa politik (as-siyasah) adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat, dalam dan luar negeri berdasarkan syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh negara Islam (Khilafah), serta diawasi oleh individu dan rakyat. Makna politik ini digali dari berbagai dalil.
Salah satu diantaranya dari sabda Nabi saw, "Dulu Bani Israil diatur urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi wafat, ia digantikan oleh Nabi yang lain. Sungguh tidak ada Nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para Khalifah dan jumlah mereka banyak," (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, kaum muslimin saat ini justru dikungkung oleh sistem sekulerisme demokrasi.
Yakni sistem kepemimpinan yang bukan berasal dari Islam. Sekulerisme merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga kaum muslimin hanya memposisikan fungsi masjid sebagai tempat beribadah.
Tidak ada lagi aktivitas mengurusi urusan umat, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Begitu pula sistem politiknya, tidak menggunakan sistem politik Islam, melainkan menggunakan sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi yang memperbolehkan manusia berdaulat atas hukum, sehingga mereka bisa menjadikan kekuasaan mereka untuk menguasai yang lain dan memuluskan kepentingan mereka sendiri.
Sistem politik demokrasi juga hanya melahirkan penguasa bermuka dua, karena mereka begitu manis ketika memanfaatkan momentum tertentu demi mendulang suara. Namun saat menjabat mereka melalaikan dan melupakan semua janji-janji kampanye, sebab legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi dinilai dari suara mayoritas. Maka wajar jika ada paslon yang memanfaatkan masjid untuk melancarkan tujuannya tersebut. Maka publik akan mendapati politik saat ini begitu kotor dan penuh intrik, tidak sebagaimana politik dalam Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Jika ada yang menghawatirkan terpecah belahnya umat akibat masjid digunakan untuk kegiatan politik tersebut muncul, hal itu karena lemahnya pemahaman umat akan politik yang hanya membatasi dalam politik praktis.
Sebagaimana juga yang diamalkan oleh parpol hari ini. Ancaman terpecah belahnya umat sejatinya sudah muncul sejak partai Islam bukan lagi partai ideologis. Umat hakikatnya sudah terpecah belah ketika parpol Islam hanya mengejar kepentingan pribadi dan golongan bukan kepentingan umat secara keseluruhan. Kekhawatiran ini tidak akan muncul, jika partai politik yang ada adalah partai ideologis Islam. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Takatul Hizbiy, mengatakan bahwa fungsi partai politik memiliki peran strategis dalam perubahan umat, yakni mereka bergerak dan terus bergerak membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Fungsi ini diwujudkan melalui pergerakan yang mereka lakukan. Pergerakan kelompok ini tentu akan mengikuti metode Rasulullah saw.
Mereka membina umat hingga individu-individu yang berada di dalam binaannya memiliki keperibadian Islam dan siap berdakwah ke tengah-tengah masyarakat. Melalui dakwah ini, masyarakat menyadari bahwa mereka hidup dalam sistem sekulerisme demokrasi yang batil dan buruk.
Mereka juga sadar seharusnya arah perjuangan ialah mengembalikan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah bukan terjebak pada politik pragmatis demokrasi. Hanya dengan Khilafah, politik yang terwujud di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan syariah, yakni mengurusi urusan umat. Inilah partai politik yang seharusnya menjadi pilihan umat untuk menyatukan umat.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini