Oleh : Ade Irma
Sulit, kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Begitu sulit dan mahalnya untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari. Terutama perempuan dan anak. Selalu diliputi dengan kekhawatiran. Banyaknya kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, penculikan bahkan pembunuhan.
Seperti kasus mutilasi seorang perempuan di Bekasi yang baru-baru ini diangkat media. Korban dibunuh lalu dimutilasi oleh seorang lelaki dengan dugaan motif sakit hati karena minta dinikahi. Kasus pilu lainnya adalah kisah anak berumur 12 tahun di Binjai Sumatera Utara yang kini tengah hamil delapan bulan akibat kasus pemerkosaan. Malangnya lagi, alih-alih dilindungi, ia malah diusir warga.
Komnas Perempuan pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal.
Ada banyak kasus yang menimpa perempuan dan anak. Sebagian terdata dan banyak pula yang tidak terdata. Ini menunjukkan adanya ancaman dan bahaya. Berbagai upaya gerakan dilakukan untuk membendung tingginya kekerasan pada perempuan dan anak. Namun pada realitanya tak memberikan solusi yang signifikan bagi keamanan perempuan dan anak.
Lalu kenapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, diterapkannya produk hukum yang bermasalah. Sumber pokok hukum perdata di Indonesia berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon. Begitu pun hukum pidana (KUHP), juga berasal dari Prancis, yaitu Code Penal. Artinya, keduanya, baik perdata maupun pidana, lahir dari hukum Barat yang berasaskan sekuler.
Sekularisme mencampakkan aturan Allah Taala dan hanya mengandalkan akal manusia dalam memutuskan perkara. Padahal, akal manusia bersifat terbatas dan lemah sehingga sudah dipastikan bahwa produk hukum yang terlahir pun akan cacat dan lemah. Bukankah ini yang menjadikan hukum mandul dalam menyelesaikan persoalan?
Kedua, Aparat dan menteri yang bermasalah.
Bukan jadi hal baru lagi. Jika saat ini banyak kasus aparat dan menteri yang bermasalah. Contoh kasus Pinangki, dan banyak aparat yang memberantas korupsi justru terlibat korupsi pula. Aparat yang ikut melakukan kekerasan. Bukan memberikan perlindungan.
Ketiga, sanksi hukum yang lemah dan tidak menimbulkan efek jera. Misalnya, sanksi bagi penculik atau pencuri hanya dikurung sebentar. Wajar jika jumlah mereka malah makin banyak. Atau sanksi bagi koruptor, pemerintah seperti tidak berani menghukum mati para pejabat korup. Jadilah korupsi membudaya di pemerintahan dari level RT hingga pejabat tinggi.
Hukum sekuler terbukti tidak bisa membawa umat manusia pada keamanan dan ketenangan hakiki. Hukum sekuler pada hakikatnya akan merusak kepribadian seseorang sebagai hamba Allah Taala.
Dalam Islam negara wajib memberikan perlindungan, keamanan, dan kenyamanan bagi seluruh umat bukan hanya Islam tapi juga umat yang lainnya.
Setidaknya ada enam poin Islam menjadi solusi bagi perempuan dan anak.
Pertama, Islam memandang keamanan sebagai salah satu kebutuhan primer masyarakat yang dijamin negara. Rasa aman muncul ketika tidak ada ancaman terhadap jiwa, fisik, psikis, harta, ataupun kehormatan. Semua ini terwujud tatkala ketakwaan meliputi individu dalam masyarakat.
Kedua, kontrol masyarakat. Untuk mencegah terjadinya kejahatan, Islam mewajibkan masyarakat untuk saling menasihati dan beramar makruf nahi mungkar.
Ketiga, materi dan sanksi hukum juga bermasalah.
Keempat, penerapan sistem peradilan Islam.
Kelima, aparatnya bersih. Dan yang kerja, sanksi yang menjerakan.
Inilah Islam yang hadir sebagai agama sekaligus ideologi yang mengatur semua urusan manusia. Bukan hanya agama, Islam juga sistem yang memberikan solusi mustanir yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Maka sudah selayaknya kita umat Islam kembali keaturan Allah yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Wallahu a'lam bi ash showab.
Tags
Opini