Oleh: Ummu Aqila
Pesta demokrasi terbesar 2024 tahunan sebentar lagi. Kontestasi pemilu mulai menjamur baik di tingkat pusat maupun daerah. Perekrutan kader dipastikan di setiap daerah ada. Gerakan sapu bersih kader pendukung diikat dengan serangkaian kampanye ilegal yang menggiurkan.
Untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya kampanye dilakukan di berbagai tempat termasuk menggunakan fasilitas di masjid seperti yang terjadi di wilayah Cirebon. Peristiwa ini menuai banyak kritik masyarakat.
Menanggapi hal itu seorang pejabat dan ketua salah satu kelompok Islam menegaskan kembali bahwa masjid maupun tempat ibadah lainnya harus bebas dari kepentingan partai politik maupun lainnya.
Dalam pernyataannya menegaskan kembali bahwa, seluruh parpol peserta pemilu harus menaati UU 7/2017 tentang Pemilu. Di dalamnya menjelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye. (Republika).
Kalau difahami dari pernyataan tersebut bahwa masjid atau tempat ibadah lainnya, hannya boleh di fungsikan sebagai tempat ibadah (ranah individu). Selain kegiatan tersebut maka harus dinihilkan terutama dari aktivitas politik.
Perspektif bahwa masjid dibatasi untuk urusan ibadah pokok ini mengingatkan kita di masa penjajahan. Masjid dan pondok pesantren dibatasi hannya untuk fokus masalah ibadah tidak dibolehkan berbicara politik. Ajaran Islam tentang politik di hapus dari kurikulum dan diawasi proses pengajarannya. Mereka musuh Islam melalui kaki tangannya berupaya keras mengerdilkan ajaran Islam terhadap umat Islam. Mereka memunculkan pemahaman yang salah di tengah umat tentang makna politik dan masjid. Bagi mereka, masjid adalah tempat “suci” sehingga tidak boleh ada aktivitas politik. Aktivitas politik dinilai kotor, dikhawatirkan berpecah belah nya umat akibat masjid dijadikan tempat berpolitik.
Padahal, politik kotor adalah akibat dari sekulerisasi dan penerapan demokrasi. Sekulerisme adalah faham yang memisahkan aturan agama dengan kehidupan. Agama hannya untuk ranah individu dengan keyakinannya. Di ranah hubungan masyarakat lepas dari urusan agama. Demikian pula dengan sistem politik demokrasi yang menjadikan kebebasan sebagai ruh-nya dan kemanfaatan sebagai tolok ukurnya. Kebebasan dalam meraih apa yang dinginkan termasuk kekuasaan, menghalalkan segala cara agar tercapainya tujuan. Walhasil slogan demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat adalah fatamorgana. Endingnya adalah kekacauan dan kebobrokan.
Berbeda dengan perspektif politik dalam Islam. Politik Islam adalah mengurusi urusan umat. Seluruh problematika di selesaikan dengan syariat Islam dan sebagai prasarana bertemu dengan umat salah satunya di masjid.
Masjid dalam pemerintahan Islam bukan hannya simbol bagi umat Islam. Fungsi masjid selain tempat beribadah, pendidikan, tetapi juga sebagai pengatur berbagai macam urusan umat. Sehingga masjid adalah pusat aktivitas politik (mengurusi urusan umat) pemerintahan Islam. Banyak problematika umat dibahas, baik persoalan individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, maupun terkait dengan orang lain (muamalah).
Islam sebagai akidah yang paripurna membimbing manusia menyelesaikan seluruh urusan, baik individu, masyarakat, hingga negara.
Oleh karenanya, ketika politik Islam dijauhkan dari masjid, ini adalah upaya untuk menjauhkan umat dari politik Islam yang sebenarnya. Wallahu'alam bi showab.