Salah Kelola Negara, Utang Makin Menggila




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah sampai dengan akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%.
Menurut kaleidoskop buku APBN KITA 2022, terdapat peningkatan dalam jumlah nominal dan rasio utang jika dibandingkan dengan bulan November 2022. Namun jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, Desember 2021, rasio utang terhadap PDB menurun dari sebelumnya 40,74 persen menjadi 39,57 persen.

"Fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan SBN, penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar. Meskipun demikian peningkatan tersebut masih," tulis Kemenkeu, dikutip Rabu (18/1/2023).

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini bicara soal utang pemerintah yang terus membengkak.
Menurutnya, di masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014, utang pemerintah terus menerus meningkat.
Dia memaparkan di tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhyono menjabat pada 2014 utang pemerintah sudah menyentuh Rp 2.600-an triliun. Kini posisi terakhir utang pemerintah sudah menyentuh Rp 7.500-an triliun.

Lebih tepatnya, dari data yang dipaparkan Didik memperlihatkan utang pemerintah terus menerus meningkat sejak 2014, di tahun tersebut utang pemerintah tercatat Rp 2.608,78 triliun dan di November 2022 mencapai Rp 7.554,25 triliun.

"Tahun 2014 itu utang posisinya cuma Rp 2.600-an (triliun), ini SBY dihajar habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasanya. Utang itu sampai November 2022 itu sudah Rp 7.500-an triliun," papar Didik dalam Catatan Awal Tahun Indef 2023 yang disiarkan virtual, Kamis (5/1).
Didik menilai bisa saja Jokowi akan mewariskan utang belasan ribu triliun kepada pemimpin-pemimpin berikutnya.

Dalam sistem kapitalisme, utang pemerintah dianggap hal yang wajar karena dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan. Sesungguhnya, utang sebagai sumber utama pemasukan negara adalah satu paradigma yang salah. Sebab, dari sisi hubungan luar negeri utang dapat menjadi alat pengendali negara pemberi utang. Posisi utang luar negeri ini bukan sekedar urusan pinjam-meminjam biasa antar negara. Bahkan Abdurrahman al-Maliki menyebut, utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara. 

Utang berjangka pendek akan dapat memukul mata uang domestik negara pengutang dan akhirnya memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial di dalam negeri. Sebab, bila utang jangka pendek  ini jatuh tempo, pembayaran tak menggunakan mata uang domestik melainkan harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard curency. Maka dari itu, negara pengutang tak akan mampu melunasi hutangnya dengan dolar AS karena langka. Atau kalaupun dipaksakan membeli dolar, maka dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal. Sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal. 

Adapun utang jangka panjang juga tak kalah berbahaya, karena makin lama jumlahnya semakin menggila yang pastinya akan melemahkan anggaran belanja negara pengutang dan membuatnya tak mampu lagi melunasi utang-utangnya. Pada saat inilah negara pemberi utang akan menyeret aset-aset strategis negara pengutang sebagai alat pelunasan hingga mengintervensi kebijakan publik negara pengutang.

Adapun dari sisi dalam negeri, utang sebagai sumber pemasukan negara menunjukan adanya salah kelola SDA yang sangat melimpah. Pengelolaan SDA yang tepat, sesungguhnya bisa menjadi sumber pemasukan negara dalam jumlah besar. Namun sistem ekonomi kapitalis telah menjebak negara berkembang sehingga negara tidak berdaya. Akibat sistem kapitalisme yang diterapkan, negara tidak mengatur kepemilikan dengan benar. Potensi-potensi alam yang sejatinya adalah milik umum, dikuasai oleh individu atau korporasi dan membiarkan masyarakat ikut menderita dalam tumpukan utang luar negeri.

Berbeda dengan sistem peradaban Islam yaitu Khilafah. Sistem politik ekonomi Islam akan menjadikan negara Islam kuat, berdaulat, dan tak lagi tunduk pada asing. Hal ini didukung dengan sistem keuangan negara yang tidak bertumpu pada utang maupun pajak melainkan berbasis Baitulmal.
Baitulmal adalah sistem keuangan negara yang memiliki beragam penerimaan yang memicu produktifitas.

Terdapat 3 pos penerimaan besar, masing-masing memiliki pemerincian pos yang beragam pula. Yakni pos penerimaan dari zakat mal, aset kepemilikan umum, dan aset kepemilikan negara. Pemasukan Baitulmal akan selalu mengalir dari berbagai sumber, bahkan dengan sistem anti ribawi negara tidak akan pernah terbebani jeratan bunga utang luar negeri. Kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.

Negara Khilafah juga akan menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang memicu terjadinya defisit anggaran. Diantaranya, Khilafah akan menekan segala bentuk kebocoran anggaran, seperti korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat. Khilalah juga akan mencegah segala bentuk pemborosan dana. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat tak akan dijalankan.

Khilafah akan melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian serta ketahanan pangan sehingga terhindar dari ketergantungan impor. Sistem ini sudah dijalankan lebih dari 1.300 tahun. Keberhasilan sistem ekonomi di masa Khilafah nampak jelas pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana negara bahkan kesulitan mendistribusikan zakat mal karena kesejahteraan rakyatnya sudah merata. 

Demikian pula berbagai kisah lainnya dalam sejarah peradaban Islam. Tidak ada sistem negara manapun yang bisa menandinginya hingga hari ini. Berdasarkan semua itu, jeratan utang pada keuangan negara hanya bisa diselesaikan dengan menerapkan sistem keuangan Islam yang dijalankan oleh institusi Khilafah Islamiyah.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak