Oleh : Tri Silvia (Pemerhati Kebijakan Publik)
2024 sudah di depan mata. Istilah tahun politik sudah dimulai bahkan dua tahun ke belakang. Namun tahun ini bisa jadi adalah puncak segala aktivitas yang berhubungan dengannya. Sejalan dengan hal tersebut, Wapres Makruf Amin pun menyampaikan dengan tegas agar para partai politik ini tidak melakukan aktivitas kampanye nya di masjid. Pernyataan tersebut untuk menyikapi kejadian baru-baru ini di Cirebon, dimana ada bendera partai politik yang dikibarkan dalam masjid. (Republika, 08/01/2023)
Pernyataan sekaligus himbauan ini terus membumi mendekati masa-masa kampanye partai politik saat ini. Seperti apa fakta tentang fungsi masjid sebenarnya? Apakah benar pernyataan bahwa kita tidak diperkenankan menyampaikan atau melakukan aktivitas politik di dalam masjid? Lantas bagaimana pemanfaatan masjid di masa Rasulullah dahulu dan para khalifah setelahnya?
Masjid, merupakan tempat ibadah dalam agama Islam. Bangunan ini dirancang khusus untuk umat Islam melaksanakan sholat, baik secara jama'ah maupun sendiri. Selain untuk menjalankan sholat, masjid juga seringkali digunakan umat Islam untuk membaca Alquran, belajar tentangnya, dan menyebarkan isinya. Aktivitas ini seringkali dilakukan baik dalam forum besar (seperti majelis taklim, kajian bakda subuh dan dhuha) atau juga forum-forum diskusi kecil.
Lalu, bagaimana dengan tema yang dibicarakan di dalamnya? Apakah boleh orang-orang berbicara terkait makanan dan minuman? Tentu saja boleh. Pakaian? Pasti juga boleh. Pendidikan? Boleh. Pergaulan? Sudah pasti juga boleh. Lalu bagaimana tentang politik?
Sebelum akhirnya disambungkan dengan fakta di atas, perlu lah kiranya kita menilik kembali definisi politik itu sendiri. Politik secara bahasa berasal dari bahasa Yunani 'politika' yang memiliki arti urusan kota. Adapun secara istilah, politik adalah serangkaian kegiatan terkait pengambilan keputusan dalam suatu kelompok tertentu. Politik juga merupakan bentuk lain dari hubungan kekuasaan individu, distribusi sumberdaya dan status.(wikipedia.org)
Lantas jika kita lihat dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik bisa bermakna tiga hal, yakni : pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan juga cara bertindak dan kebijaksanaan.(kbbi.web.id)
Adapun dalam Islam, politik lebih diartikan sebagai pengaturan urusan umat, baik di dalam maupun luar negeri. Dilakukan oleh negara dan umat, atas dasar ideologi (mabda). Dengan kata lain, politik dalam Islam mencakup hal yang lebih luas daripada sekedar urusan pemerintahan. Ia juga mencakup segala urusan keumatan, baik terkait muamalah, pendidikan ataupun yang lainnya.
Dengan mengetahui makna serta hakikat kata politik, maka sudah seharusnya kita tak lagi men-cap politik dengan pandangan negatif semata. Justru sebaliknya, politik akan bermakna positif. Apalagi jika disandingkan dengan rasa kepedulian dan proses penyelesaian masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut sepadan dengan perumpamaan satu tubuhnya umat Islam, yang mana telah Allah sampaikan melalui hadis Rasulullah SAW yang artinya,
"Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR Bukhari, Muslim)
Selain pengertian politik yang ternyata lebih luas dari sekedar pemerintahan, kenyataan bahwa tak semua urusan politik kenegaraan bersifat kotor dan penuh dengan intrik, itu harus kita terima. Oleh karena itu, jelas saja jika Islam tak pernah membatasi umatnya dalam membicarakan urusan politik, baik waktu, siapa yang membicarakan ataupun terkait dengan tempat.
Lihatlah bagaimana Baginda Rasulullah SAW menjadikan masjid sebagai tempat ibadah sekaligus pusat pemerintahan. Rasulullah sholat di dalamnya, menyampaikan ayat-ayat Alquran, menyatukan orang yang berselisih, menyelesaikan segala urusan kaum muslimin. Begitupun saat mendiskusikan strategi negara dalam hal dakwah dan peperangan, Rasulullah melakukannya di dalam masjid. Artinya, tak pernah ada larangan untuk membicarakan politik di dalam masjid. Sebaliknya, mayoritas pembicaraan yang menyangkut politik saat itu justru dibicarakan di dalam masjid.
Lantas kenapa saat ini berbeda? Masjid justru hanya dikhususkan untuk hal-hal yang bersifat ibadah saja, semacam sholat dan mengaji. Sedangkan untuk hal-hal yang berbau politik dijauhkan. Bahkan jika ada khutbah ataupun isi ceramah yang berbau politik, itupun jadi masalah. Teks khutbah ditinjau, penceramah dipilih-pilih, dibuatkan sertifikasinya, bukan berdasar keilmuan, melainkan pemahaman yang harus sesuai dengan sang pengambil kebijakan.
Semua itu terjadi sebab bercokolnya sistem sekuler di negeri ini. Sistem sekuler yang senantiasa memisahkan agama dari kehidupan, selalu menstereotipkan agama sebagai sesuatu yang netral. Hanya bertujuan untuk ibadah saja, menjalin hubungan dengan Allah. Begitupun dengan tema-tema yang disampaikan di dalamnya. Adapun untuk tema-tema yang dekat dengan perpolitikan, akan dihindarkan.
Hal yang serupa pun dilakukan untuk para ustaz, kyai dan ulama. Mereka didorong untuk berkutat hanya seputar bahasan fikih sholat dan thoharoh saja. Adapun untuk urusan politik, apalagi pemerintahan, mereka pun dilarang. Yang menarik bahkan, para ulama dan asatiz ini didorong untuk mengkhususkan diri berdakwah dengan tema-tema tertentu, yang jauh dari tema-tema politik.
Miris, kondisi semacam itu jauh berbeda dengan masa pemerintahan Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Masa dimana para ulama tak hanya diperkenankan untuk mengurusi urusan perpolitikan, mereka bahkan dijadikan pendamping dan penasihat saat khalifah memutuskan kebijakan ataupun strategi perpolitikan. Yang mana proses pengambilan kebijakan tersebut dilakukan di dalam masjid.
Alhasil, bisa ditarik kesimpulan bahwa tak pernah ada larangan (baik secara khusus ataupun umum) untuk membicarakan atau melakukan aktivitas politik di dalam masjid, selama semua orang yang terlibat tetap menjaga adab di dalamnya.
Terkait dengan hal yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, juga himbauan agar tidak melakukan aktivitas politik di masjid, murni sebab ketidaktahuan, dan pemikiran sekuler yang sudah menjalar di tengah masyarakat.
Sudah saatnya fungsi masjid dikembalikan. Ingat bahwa Islam itu agama yang sempurna, aturannya meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk politik pemerintahan di dalamnya. Pemikiran yang menganggap bahwa agama harus terpisah dari kehidupan, nyatanya merupakan pemikiran yang salah dan harus ditinggalkan. Sebaliknya, Islam sebagai satu-satunya agama paripurna sudah seharusnya diterapkan.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini