Oleh : Ani Hayati, S.Hi
(Pemerhati Masalah Publik)
Belakangan ini tragedi terkait perempuan dan anak kembali menjadi bahan pemberitaan. Salah satunya, Polda Metro Jaya telah menyatakan bahwa wanita korban mutilasi di Bekasi bernama Angela Hindriati Wahyuningsih. Angela merupakan mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019. Hal itu diketahui dari cuitan aktivis lingkungan hidup dan mantan Direktur Eksekutif Walhi Indonesia, Chalid Muhammad pada 16 November 2019.
"Kawan kami mantan aktivis walhi dinyatakan hilang oleh keluarga sejak juni 2019. Bantu sebar ya, siapa tau ada yg pernah melihat atau mengetahui (Beritasatu.com, 07/01/2023).
Di sisi lain, Kepolisian berhasil menangkap pemulung yang menjadi pelaku penculikan anak perempuan di Jakarta Pusat, Iwan Sumarno (42), pada Senin (2/1) setelah sempat buron. Selain menangkap pelaku, polisi juga berhasil menemukan dan menyelamatkan korban bernama Malika Anastasya (MA) berusia enam tahun. Polisi menemukan keduanya di kawasan Ciledug (cnnindonesia.com, 03/01/2023).
Kedua Peristiwa di atas menunjukkan adanya ancaman bahaya pada perempuan dan anak, terutama anak perempuan. Di mana perbuatan keji tak bisa terelakkan terjadi pada mereka. Namun berita yang mencuat di media massa hanyalah gambaran kecil saja. Kasus pembunuhan, pelecehan hingga kekerasan pada anak sejatinya seperti fenomena gunung es. Jumlah yang tampak jauh lebih kecil dari kenyataannya. Bentuknya pun bisa sangat beragam.
Fakta-fakta mengerikan ini jelas menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak kita sedang dalam kondisi terancam. Mereka yang hari ini kehilangan fitrah kesucian dan mengalami proses demoralisasi sejatinya adalah korban dari hilangnya payung perlindungan. Mulai dari orang tua atau keluarga, masyarakat, termasuk sekolah, hingga negara.
Tidak dipungkiri, sebab sistem yang diterapkan negara hari ini bukan habitat ideal bagi perempuan dan anak-anak. Paradigma sekularisme yang mendasarinya begitu mengagungkan kebebasan atas nama HAM.
Peran agama benar-benar disingkirkan. Nilai-nilai moral dipandang sebagai urusan personal yang terlarang bagi negara untuk mencampurinya. Bahkan negara tidak memandang masalah ini sebagai perkara yang harus segera diberi solusi pasti. Terbukti agama yang menjadi kunci kemuliaan justru diotak-atik dengan narasi moderasi dan deradikalisasi. Padahal Islam yang dimoderasi dan dideradikalisasi, sejatinya adalah Islam yang toleran terhadap nilai-nilai Barat yang sekuler dan mengagungkan hak asasi. Termasuk hak asasi untuk berbuat semaunya dan berdampak menyebarluaskan kerusakan.
Begitu pun penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari sekularisme, meniscayakan cara pandang negara dipenuhi nilai-nilai materialisme. Kekuasaan tidak ubahnya seperti sebuah perusahaan bagi para pemilik modal. Hubungan rakyat dan negara, tidak ubahnya seperti bisnis jual beli. Apa pun yang menguntungkan akan dibiarkan berjalan. Tidak heran jika bisnis hiburan, termasuk pornografi-pornoaksi, dipandang sebagai shadow economy.
Sampai kapan kejahatan sistemik ini kita biarkan?
Sementara itu, generasi yang rusak akan sulit diperbaiki dengan solusi parsial seperti yang mereka tawarkan. Sex education, pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, semuanya hanya solusi basa-basi. Bahkan menjauhkan umat dari solusi yang hakiki.
Tentu ini menunjukkan mandulnya sistem hukum yang ada, yang tak mampu memunculkan efek pencegah tindak kejahatan. Hal ini bisa dipahami karena regulasi yang ada lahir dari pemikiran manusia yang lemah. Ditambah lagi dengan rusaknya kepribadian manusia akibat penerapan sistem sekuler.
Berbeda dengan hari ini, sejarah peradaban Islam justru dipenuhi bukti empiris tentang karakter generasi terbaik. Anak-anak yang lahir pada era ini seakan mutiara-mutiara umat yang sukses membawa kaum muslim menjadi umat yang terbaik dan tinggi. Kepribadian mereka begitu hebat hingga layak mengemban amanah memimpin penduduk bumi. Tidak hanya satu—dua abad, tetapi cerita sukses mereka berlangsung sampai belasan abad.
Sebuah kisah masyhur menunjukkan kepedulian Khalifah Al-Mu’tashim kepada muslimah. Peristiwa seorang budak muslimah dilecehkan orang Romawi. Dia adalah keturunan Bani Hasyim, yang saat kejadian sedang berbelanja di pasar. Bagian bawah pakaiannya dikaitkan ke paku, sehingga terlihat sebagian auratnya ketika ia berdiri.
Dia lalu berteriak-teriak, “Waa Mu’tashimaah!”, yang artinya “Di mana engkau wahai Mu’tashim (Tolonglah aku)”.
Berita ini sampai kepada Khalifah.
Dikisahkan saat itu ia sedang memegang gelas, ketika didengarnya kabar tentang seorang wanita yang dilecehkan dan meminta tolong dengan menyebut namanya. Beliau segera menerjunkan pasukannya. Tidak tanggung-tanggung, ia menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Ammuriah (yang berada di wilayah Turki saat ini).
Kisah tersebut ialah salah satu bentuk perlindungan terhadap kaum perempuan. Begitu urgent nyawa seorang wanita jika dalam naungan Islam jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Kondisi perempuan dan anak sangat memprihatikan. Sungguh miris!
Oleh karena itu, tidak salah jika kita mengatakan, di dalam Islam, Khilafah adalah satu-satunya model negara bervisi penyelamatan generasi. Pada era Khilafah, tertutup semua celah yang menjadi penyebab kerusakan generasi. Sistem politik, ekonomi, sosial, sanksi, pendidikan, media massa, serta sistem-sistem lainnya, semua bertumpu pada syariat Islam yang bersumber dari Zat Pencipta Alam. Perempuan dan anak hanya akan aman dalam naungan syariat Islam, yang memiliki aturan yang menyeluruh yang mampu menimbulkan efek jera dan juga mekanisme terbaik karena berasal dari Dzat yang menciptakan manusia.
Wallahua'lam bish-showab.
Tags
Opini