Oleh: Tri S, S.Si
Al-Qur’an adalah kitabullah, kitab suci umat Islam. Ketika dilantunkan ayat-ayat Al-Qur’an sudah seharusnya kita menghormati dan memuliakan, baik qori’nya juga Al Qur’an itu sendiri. Bacaannya menjadi penyejuk dan penenang hati Ironisnya, beberapa hari lalu viral di media sosial tentang qori’ah yang disawer. Sikap tak beradab beberapa pria itu, tentu mengundang kecaman umat Islam. Sawer terhadap qori’ah tentu bukanlah apresiasi tetapi penghinaan. Peristiwa qori’ah yang disawer terjadi ketika peringatan maulid Nabi Muhammad Saw. di Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada awalnya, aksi saweran dilakukan oleh dua pria kemudian disusul ibu-ibu, pada Kamis (CnnIndonesia.com, 5/1/2023/).
Dalam sistem kapitalis sekuler seperti saat ini menghamburkan materi tentu hal biasa. Bahkan dengan cara-cara yang tidak beradab. Seperti aksi sawer terhadap qori’ah. Menyamakan qori’ah dengan biduan dangdutan, adalah perilaku yang tak beradab dan menghina agama karena merendahkan kitabullah, dengan menyamakan lantunan ayat suci Al-Quran seperti nyanyian dangdut.
Al-Qur’an adalah kitab yang suci, kitab yang memiliki kedudukan yang sangat agung, terhormat, dan mulia, bukan sekedar kitab bacaan. Bahkan ketika ia diturunkan di satu waktu, maka waktu itu menjadi mulia. Al-Qur’an ketika diturunkan disatu malam, maka malam itu lebih baik dari seribu bulan. Al-Quran ketika diturunkan pada satu bulan, maka bulan itu menjadi bulan yang mulia.
Al-Qur’an begitu istimewa. Setiap bacaannya mengandung pahala. Oleh karena itu, setiap pembacanya mesti punya adab begitupun yang mendengarkannya, mesti khusyu menyimak dan merenungi agar mendapatkan keberkahan dan kemuliaan-kemuliaannya.
Kasus disawernya seorang qar’iah yang sedang membaca Al Qur’an adalah bentuk pelecehan dan desakralisasi terhadap Al Qur’an. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum syariat juga menunjukkan sudah hilangnya adab terhadap kitab suci yang seharusnya dijunjung tinggi. Tradisi atau budaya yang seperti itu hendaknya tidak diikuti dan tidak boleh dilakukan. Sangat tidak pantas memperlakukan pembaca Al-Qur’an dengan perilaku yang demikian.
Ini menjadi satu keniscayaan dalam sistem sekuler yaitu, menjauhkan agama dalam kehidupan, sehingga umat menjadi jauh dari agamanya, tidak paham agamanya, dan berperilaku tidak sesuai aturan agamanya. Tradisi dan budaya dijunjung tanpa melihat apakah sesuai dengan hukum syariat atau tidak.
Selain itu, sistem hari ini juga berasaskan liberal atau kebebasan, sehingga perilaku demikian berlindung dibalik baju HAM yang merupakan tameng dari liberalisme dan jargon untuk mendukung liberalisme.
Liberalisme mengajak pada kebebasan sehingga akan melahirkan kerusakan-kerusakan. Atas dasar HAM inilah kemudian lahirnya perilaku-perilaku yang jauh dari kemuliaan sebagaimana kasus sawer pada qori’ah. Institusi sebagai Penjaga Kemuliaan Al-Qur’an
Adanya kasus seperti ini membutuhkan adanya institusi sebagai pelindung, yang akan menjaga kemuliaan Al Qur’an, pembacanya dan juga penerapannya secara kaffah dalam kehidupan. Dan ini hanya akan terwujud ketika umat memiliki negara yang memuliakan Al Qur’an yaitu Khilafah Islamiyyah.
Khilafah dengan Islam sebagai sistemnya akan mampu menjaga Al-Quran. Khilafah akan membentuk individu-individu dengan pemahaman Islam, yang standar perilakunya hanya pada hukum syariat, dan masyarakatnya senantiasa beramar ma’ruf nahi munkar.
Begitupun tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, tidak akan diperbolehkan. Salah satu fungsi syariat adalah mengubah tradisi atau adat yang rusak.
Sebagai contoh, tradisi mencium Hajar Aswad yang dilakukan oleh orang jahiliah, misalnya. Ketika kaum muslim mencium Hajar Aswad saat tawaf, itu bukan karena mengikuti tradisi jahiliah atau mempertahankan tradisi jahiliah, tetapi karena ada sabda dan perbuatan Nabi Saw. yang memerintahkan dan melakukan tindakan tersebut. Karena itu ‘Umar bin al-Khaththab mengatakan,
“Engkau tidak lebih dari sekadar batu. Andai aku tidak melihat Rasulullah Saw. menciummu, aku tidak akan pernah menciummu”. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Malik).
Begitupun terkait tradisi jahiliah mengubur anak perempuan hidup-hidup, ini kemudian dihapuskan dalam Islam. Nabi bersabda,
“Siapa saja yang menghidupi dua anak perempuan sampai mereka balig, maka pada hari kiamat kelak, aku dan dia, seperti ini”. Baginda sambil memasukkan jari-jemari [kedua tangannya]. (HR Muslim).
Seharusnya, pemerintah memberikan tindakan tegas terhadap para penista agama Islam, sebab di Indonesia sendiri mayoritas muslim. Namun, inilah ironisnya hidup dalam sistem kapitalis sekuler yang mendewakan materi, serta hilangnya peran agama dalam kehidupan. Wajar, para penista agama tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Ditambah, tidak adanya hukum yang membuat efek jera terhadap para penista agama.
Karena itu, butuh negara yang memberikan sanksi, untuk mencegah terjadi kembali. Seperti dalam sistem Islam, ketika ada seseorang yang menghina atau mengolok-olok agama Islam maka akan di amar makruf, jika masih mengulang maka akan ditindak tegas, yaitu dibunuh. Sifat hukum agama memberikan efek jera bagi pelaku juga mencegah yang lainnya, hingga tidak akan ada lagi yang menghina dan mengolok-olok agama Islam. Sedangkan dalam pandangan agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surah At-taubah ayat 65-66. Bahwa menghina agama terkategori kekufuran.
Dengan demikian, tradisi atau adatlah yang menyesuaikan Islam bukan malah sebaliknya. Dengan begitu, maka syariat Islam dan Al-Qur’an hanya akan mulia dan terjaga dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah Islamiyah.