Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Keluarga Dan Sosial
Adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Indonesia sedang resesi, kondisi ekonomi benar-benar sulit dan tidak bisa diprediksi. Rakyat banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pengangguran dan kemiskinan makin parah. Harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak sehingga dapur sulit mengepul. Efeknya, terjadi stres massal, termasuk berbagai kasus bunuh diri akibat tekanan ekonomi.
Hal ini tentu menjadi sakit hati tersendiri, karena bukannya empati dan berusaha memperbaiki ekonomi, justru para pejabat mengeluarkan pernyataan yang kontradiksi. Sebagaimana yang dilansir CNBC Indonesia pada tanggal 10 Januari 2023, Presiden Jokowi menyatakan bahwa 2022 merupakan periode tersulit bagi dunia. Namun, Indonesia beruntung karena—menurutnya—hal itu tidak begitu terasa bagi masyarakat Indonesia.
“Tahun 2022 kemarin adalah tahun yang sangat sulit. Tahun yang sangat sulit bagi dunia, bagi seluruh negara yang ada di dunia ini, tapi kita sepertinya tidak merasakan. Karena kita masih tumbuh pada posisi normal ekonomi kita,” kata Jokowi (CNBC Indonesia, 10-1-2023).
Realitas sulitnya ekonomi Indonesia pada 2022 amat terang benderang. Gelombang PHK massal oleh perusahaan startup; PHK pabrik tekstil mencapai 500 ribu orang; kenaikan harga barang-barang, termasuk pangan; juga kenaikan harga BBM Pertalite dan solar bersubsidi.
Semua ini adalah bukti riil bahwa rakyat sangat terdampak resesi. Lantas, bagaimana bisa mengatakan Indonesia tidak merasakan kesulitan ekonomi tersebut? Sungguh cerminan pemimpin yang tidak peduli terhadap penderitaan rakyatnya.
Meski rakyat banyak kelaparan, balita stunting, ibu-ibu stres hingga bunuh diri karena tekanan ekonomi, ataupun para pemuda putus sekolah karena tidak ada dana, penguasa tidak merasakan apa-apa. Penguasa seolah mati rasa .
Inilah profil pejabat produk sistem demokrasi, yang sangat berkebalikan dengan sistem Islam.
Pemimpin dalam Islam adalah raa’in (pengurus) atau mas’ul (penanggung jawab) dan junnah (penjaga) bagi rakyat. Pemimpin ikut merasakan kesulitan rakyat dan bekerja keras untuk menyejahterakan rakyat. Penguasa dalam Islam yakin bahwa kepemimpinannya akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak pada Hari Akhir. Sehingga dia akan berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat. Dia tidak akan membutuhkan pencitraan dan penilaian manusia, apalagi hanya segelintir orang yang dianggap berjasa dalam proses menjabatnya.
Wallahu a’lam bi ash showab.